Saturday 31 May 2014

Anak-ku... Biarkan Aku Mati Bersama-Mu

Hermannsburg, 
13.40

Menjelang Paskah, film Tuhan Yesus adalah sesuatu yang nampaknya wajib ditayangkan di setiap gereja (terutama di Indonesia), dengan maksud mengingatkan kembali tentang pengorbanan Kristus di Kayu Salib.

Saya berterima kasih kepada semua pihak yang telah bekerja keras membuat berbagai versi tentang film Tuhan Yesus. Bagi saya, semua yang divisualisasikan sangat menolong untuk memberi gambaran dan memahami dari berbagai sudut pandang.. Toh, tidak ada dari kita yang benar-benar melihat peristiwa penyaliban bukan? Semua film dibuat berdasarkan narasi kitab Injil, yang berarti, terbuka kemungkinan untuk dibumbui dengan berbagai aspek tertentu sebagai bagian dari interpretasi para sutradara -atau mungkin ada teolog yang turut berkontribusi di dalamnya? who knows. 

Versi Injil Lukas adalah yang paling sering saya saksikan ketika saya masih kecil. Entah kapan terakhir saya menyaksikan versi tersebut, namun hampir 10 tahun terakhir ini, The Passion of Christ menjadi pilihan satu-satunya. Film yang dirilis tahun 2004 silam tersebut memang menuai begitu banyak kontroversi, namun tidak sedikit pula yang mengacungi jempol. Salah satu pihak yang begitu merasa dirugikan dengan munculnya versi The Passion of Christ ialah kalangan-kalangan tertentu dari orang Yahudi, yang menilai film tersebut seolah-olah mempertontonkan kesalahan orang Yahudi yang menyeret Yesus ke tiang salib. Belum lagi Mel Gibson, sang sutradara, dipercaya sebagai seorang anti-semitik, dan ayahnya menyangkali tragedi Holocaust yang pernah membantai habis jutaan warga Yahudi tersebut. Selain itu, poin lain yang dipersoalkan ialah konten kekerasan yang dipertontonkan, di mana sang tokoh Yesus benar-benar berlumuran darah ketika dicambuk dan dipukuli, dan adegan menuju Golgota juga terlihat begitu ekstrim. 

Namun, kecurigaan beberapa kalangan tentang aspek anti-semitik yang hadir melalui The Passion of Christ sesungguhnya telah dibantah  oleh Maia Morgenstern, sang pemeran tokoh Mary, yang adalah seorang keturunan Yahudi. Ayahnya adalah seorang survivor alias satu dari sekian yang selamat dari Auschwitz Concentration Camp, salah satu Kamp Konsentrasi Nazi yang terletak di Polandia. Memang, menurut Morgenstern, selain untuk memperlihatkan penderitaan Kristus -agar umat dapat menghayati betapa mahalnya pengorbanan tersebut- ada aspek lain yang hendak dijadikan pesan, yakni: untuk memahami betapa mudahnya massa digerakkan oleh para penguasa, atau bagaimana orang-orang dapat dimanipulasi oleh para pemimpin. Jadi, ini pesan penting menurutnya. Saya juga tidak tahu mengapa segala sesuatu yang saya baca dan saksikan beberapa bulan terakhir selalu saja ada kaitannya dengan tragedi Holocaust, tetapi di sini, poin saya bukanlah itu, dan saya tidak ingin mengaitkannya lebih jauh ke sana.

Apapun interpretasi banyak orang mengenai versi The Passion of Christ, bagi saya pribadi, ada 1 pesan yang juga tidak kalah penting dari tujuan untuk mengenang penderitaan Kristus ataupun seperti yang disebutkan oleh Morgenstern di atas -bahkan Morgernstern sendiri tidak menyebutkan sisi ini sebagai salah satu tujuan dari film tersebut. Selama ini, ketika menyaksikan film Tuhan Yesus, beberapa dari kita pasti menangis, atau setidaknya, hampir semua merasa sedih dan tersentuh. Sedih dan menangis karena tidak tega melihat Kristus dicaci, diludahi, diseret ke sana-sini, dipukul, dicambuk, dan lalu dalam keadaan yang sudah sangat sekarat masih juga harus memikul kayu salib ke atas bukit Golgota. Tentu saja sangat menyedihkan, dan tidak jarang itu menyayat hati kita yang merasa sudah diselamatkan melalui penderitaan tersebut. 
Namun, berapa dari kita yang pernah memperhitungkan perasaan sang ibu, Maria? Berapa dari kita yang pernah turut larut dalam pergolakan batinnya yang harus merelakan daging dari dagingnya untuk mati di kayu Salib? Adakah yang pernah menangis untuk Maria? 

Saya secara pribadi harus mengakui bahwa saya telah berkali-kali menangis untuknya karena kebesaran hatinya. Tanyakan pada semua ibu di dunia ini, adakah yang rela ketika anak-anak mereka menderita? Tentu tidak ada! Inilah salah satu alasan mengapa saya memilih untuk lebih sering menonton versi The Passion of Christ: perasaan sang ibu terekspresi dengan begitu jelas melalui peranan Maia Morgenstern, dan bagi saya, semua yang tergambar melalui perannya adalah hal-hal yang sangat mungkin terjadi kala itu.

Terlalu feminis menguak sisi sang Ibu? Tidak juga. Tapi, kalaupun dianggap demikian, ya tidak masalah juga. Toh menurut saya, sejak Allah memilih Maria untuk mengandung bayi Yesus (atau sejak Allah memutuskan untuk menyatakan kehadiran Yesus melalui rahim manusia -yang artinya harus melalui perempuan), sesungguhnya itu adalah bagian dari karya Allah untuk membebaskan kaum perempuan yang kala itu terpinggirkan dan dianggap tidak memiliki peranan apa-apa, terutama dalam urusan keagamaan. Jadi, sejak Yesus ditetapkan untuk dikandung di rahim Maria, sejak saat itu pulalah pembebasan terhadap kaum perempuan didengungkan (kembali). 

Bahkan, untuk mempertegas bahwa perempuan juga sama berhaknya dengan laki-laki dalam mewartakan Injil, Allah menjadikan perempuan sebagai penerima dan pengabar Injil pertama itu sendiri. Ya, dialah Maria. Dialah yang kepadanya Malaikat menyapa dan membawa Kabar Baik itu. Dan satu hal lagi, bahwa Allah, melalui malaikat Gabriel, menyapa Maria dengan begitu terhormat: "Salam, hai engkau yang dikaruniai." (Luk.1:28). Atau melalui Elizabeth, sanaknya: "Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu." 

Saat menyerukan hal tersebut kepada Maria, Elizabeth dipenuhi dengan Roh Kudus, yang berarti dari Allah sendiri (Luk.1:41). Sementara itu, sebelum mati di kayu salib, Yesus berseru kepada Sang Ibu: "Ibu, inilah, anakmu," dan kepada para murid: "Inilah ibumu." (Yoh.19:26-27). Dalam penafsiran saya, pernyataan Yesus tersebut sangat dalam maknanya. Ia menyerahkan para murid kepada sang Ibu, dan begitu pula sebaliknya, yang berarti: menyatukan keduanya. Sang Ibu diserahkan kepada persekutuan umat percaya, dan demikian pula umat dipersatukan dengan sang Ibu yang adalah simbol pembebas tadi; belum lagi tentang pengorbanannya merelakan Sang Anak. Maka, bagaimana bisa diabaikan perannya dalam mewartakan Injil, sementara dia sendirilah yang bukti pengorbanannya paling besar demi kemaslahatan Kabar Baik. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Allah sendiri saja, yang adalah Pencipta, begitu menghargai dan menghormati perempuan, makhluk ciptaan-Nya, lalu bagaimana mungkin sesama manusia yang lain bisa merendahkan mereka?

Baiklah, itu sekilas tentang sisi feminis yang mungkin bisa dikaji dari perspektif Maria. Namun di sini, sekali lagi tujuan saya hanya ingin mengajak pembaca untuk sekedar mengenang kebesaran hatinya. Telah saya singgung di atas, tentu saja tidak ada ibu di dunia ini yang tega menyaksikan anak-anak mereka menderita. Dalam adegan The Passion Christ, Maria digambarkan terus mengikuti Yesus sejak di hadapan para Imam Besar, ketika disiksa di bawah perintah Pilatus, hingga ke Bukit Golgota. Memang, tidak semua Kitab Injil menyaksikan hal tersebut, namun Injil Yohanes adalah satu-satunya yang menyebutkan secara jelas bahwa Maria, Ibu-Nya -bersama beberapa perempuan yang lain- turut berdiri tidak jauh dari kaki salib Yesus (Yoh. 19:25).
 
adegan ketika Maria menyaksikan Yesus dicambuk, dan menyeka darah-Nya, sesudahnya.

Tentu saja kita paham benar bahwa Maria sudah menyadari semua resiko yang harus ditanggungnya ini, sebab sedari awal Malaikat Gabriel sudah menggemakan maksud Allah kepadanya. Patut diteladani kepatuhan yang membuatnya selalu berujar, "Jadilah padaku seperti yang dikehendaki Allah." Namun, tetap saja, menyaksikan Yang Dikasihi berjalan menuju kematian sungguh mengoyak batinnya. Ia hancur berkeping-keping, dan siapa yang tahu kalau hari itu mungkin saja dia sempat akan menggugat Allah? Rasa sakitnya tentu sampai ke tulang sum-sum, sungguh tak terbayangkan. Semakin terasa ketika sesekali matanya bertatapan dengan mata Sang Anak, dan setiap kali hal itu terjadi, ia selalu teringat akan hari-hari yang telah mereka lalui bersama. 

 Adegan ketika Maria berlari menembus kerumunan, menopang Yesus untuk berdiri kembali setelah Ia tersungkur. Di saat yang sama, memori tentang masa kecil Sang Anak terngiang di kepalanya, tatkala Sang Anak terjatuh dan ia berlari menggendong-Nya sembari berkata: "Ibu di sini."

Pada adegan di atas, Yesus merespon Ibu-Nya: "Ibu, lihatlah, Aku membuat segala sesuatu baru." Sekali lagi, Maria sadar benar akan tujuan tersebut. Tetapi, siapa yang dapat menyangkal bahwa ada bagian dari dirinya yang tidak mampu menerima penderitaan fisik Sang Anak? Maria sungguh tersiksa hari itu. Bahkan, sempat ia berucap: "Anak-ku.. Bilamana, dimana dan bagaimana, Engkau akan memilih untuk terbebas dari semua ini? Ungkapan tersebut jelas menggambarkan betapa hari itu Maria sangat bergumul dengan Allah. 

Namun, dari semua adegan yang diperankan oleh Morgenstern, ada satu yang paling menyentuh hati saya (dan ini juga ekspresi yang sangat mungkin terjadi kala itu). Tepat di kaki salib, ketika Maria melihat Yesus yang dipaku berseru kepada Allah: "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat," air matanya sudah hampir kering. Ia memang menangis, namun sepertinya sudah berada pada puncak kepedihan, sehingga bukan lagi air mata yang menjadi penanda kesedihan dan kesakitannya, tetapi seperti yang tergambar di bawah ini:

Maria menggenggam kerikil di hadapannya dengan sangat kuat. Kalau sekarang ini, melakukan hal tersebut mungkin kita sertakan juga dengan menggertakkan gigi, di mana segala rasa: sedih, marah, tak berdaya, tak tahu lagi harus berbuat apa, bercampur menjadi satu.
*Maka, dengan semua yang ia rasakan, genaplah kesaksian Simeon kepadanya di Bait Allah: "...Suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri..." (Luk.2:35)

Tanpa mengesampingkan peran Bapak, kita tahu bahwa Ibu adalah orang yang paling berani mengambil keputusan tatkala anak-anak menderita sakit. Jika saja anak yang sakit dapat membagi rasanya untuk ditanggung bersama-sama, atau jika boleh bertukar posisi dengan anak sehingga biarkan Ibu saja yang menanggung kesakitan tersebut, maka Ibu akan rela melakukan. Tepat seperti itulah perkataan terakhir yang terucap dari mulut Maria di akhir dari semunya, ketika ia menatap Yesus yang salib-Nya sudah berdiri tegak: "Daging dari dagingku, Hati dari hatiku.. Anak-ku, biarkan Aku mati bersama-Mu." Sangat menyakitkan, bukan? Meski hanya merupakan bagian dari penafsiran, tetapi bagi saya, Mel Gibson, melalui Maia Morgernstern, telah memperlihatkan hal dan sisi-sisi yang paling mungkin diucapkan dan diekspresikan oleh sang Ibu dalam segala keputusasannya. 


Maka, berdasarkan semua penggambaran di atas, saya rasa tidak salah jika kita mencoba menerawang Maria demikian, sehingga, tidak berlebihan jika setiap kali memperingati Jumat Agung, memperingati penderitaan dan pengorbanan Kristus yang sangat mahal itu, kita sertakan juga ucapan terima kasih kepada Sang Ibu yang tidak kalah menderitanya. Bagaimanapun, Maria adalah Ibu kandung-Nya. Dia telah berkorban begitu rupa, namun namanya sangat jarang walau sekedar untuk diingat sebagai seseorang yang juga telah turut ambil bagian dalam Karya Penyelamatan manusia. Jadi, selain (hanya) mengenalnya sebagai seorang Perawan Suci, akan kita kenang seperti dan sebagai siapakah dia? :) 


Selamat memperingati Hari Jumat Agung, selamat memaknai pengorbanan Allah di dalam Yesus Kristus, melalui rahim dan kepedihan Maria...

Best,
ElimWTaruk.

No comments:

Post a Comment