Wednesday 30 July 2014

Agar ketika kau dikhianati, kau tetap mampu melanjutkan kehidupan tanpa bergantung pada siapapun!

07.29am
Greetings from home !

Apa yang akan saya tuliskan pada postingan ini sebenarnya telah berhasil mencuri perhatian dan pikiran saya selama beberapa bulan terakhir.
Hampir setiap hari muncul susunan kalimat baru untuk melengkapi kalimat-kalimat sebelumnya, dan setiap hari seakan memaksa untuk menuliskannya, entah dimana saja..
Mungkin, setiap kali bertemu dengan kejadian dan kasus-kasus yang baru, ide itu semakin lengkap dan menemukan waktunya untuk dituangkan (kali ini cukup panjang ya postingannya ^^)

Well, ini tentang "PERSELINGKUHAN" dalam sebuah hubungan, baik dalam berpacaran maupun dalam hubungan rumah tangga (meskipun saya belum menikah).
Basi ya? Maybe, but I bet you won't regret to try this one (:

Actually, selain muncul dari pengamatan dan pengalaman orang-orang di sekitar, tulisan ini juga berangkat dari bukti-bukti empiris dimana saya sudah beberapa kali mengalami patah hati karena dikhianati atau diselingkuhi, dan pernah juga didekati oleh para lelaki yang sudah berstatus pacaran !

First Point:
Saya hendak mempertanyakan: Mengapa perselingkuhan begitu lumrah terjadi? Pertanyaan ini mungkin sangat klise, tapi saya tetap ingin mempertanyakannya. Mengapa segala sesuatu yang kita anggap tidak baik itu justru semakin sering kita temukan dalam dunia ini? Oke, tanpa tendensi untuk menuduh kaum tertentu, setelah mengamati beberapa kasus dan berdasarkan hasil penelitian seorang Psikolog Sosial & Jurnalis yang menyandang gelar Doktor Psikologinya di Stanford University, Amerika Serikat, Debbie Then, Ph.D. mendapati bahwa di banyak tempat, 25-90% laki-laki telah mengkhianati istri mereka, dan perempuan yang mengkhianati suami mereka sekitar 30-60%. Pada kesempatan yang lain, Dr. Helen Fisher, seorang peneliti perilaku manusia dan antropolog asal Amerika menuliskan dalam bukunya yang berjudul Anatomy of Love: A Natural History of Mating, Marriage, and Why We Stray, bahwa pernikahan monogami paling banyak diketahui di negara-negara Barat, dan bahwa hanya 16 dari 853 kebudayaan yang ia teliti yang mempraktikkan monogami. Lalu di lingkungan saya sendiri, saya menemukan bahwa pengkhianatan dalam sebuah hubungan juga seakan menjadi "tren" yang tidak bisa tidak, harus terjadi dalam sebuah hubungan.
Beberapa orang teman menghampiri saya di banyak kesempatan dan menyampaikan kekecewaan serta berbagi rasa sakit ketika mereka dikhianati oleh pasangan mereka. Untuk bagian yang ini, lagi-lagi yang menghampiri saya adalah teman-teman perempuan! Kasusnya hampir sama seperti yang pernah saya alami: Pacar mereka kedapatan sedang menjalin hubungan --entah apapun kategorinya-- dengan perempuan lain, dan hal tersebut sungguh menyakitkan hati mereka. Yes, I know exactly how it feels...
Beberapa dari mereka juga dihampiri oleh laki-laki yang sudah punya pacar, dan saya mendapati bahwa alasan para lelaki tersebut medekati teman saya adalah sama persis seperti alasan dan penjelasan yang disampaikan oleh lelaki yang pernah mengungkapkan keinginannya untuk menjadi pacar saya, tatkala ia sedang menjalin hubungan yang sudah cukup lama dengan pacarnya. Saya mencurigai bahwa alasan ini mungkin dipakai oleh banyak laki-laki (dan mungkin juga perempuan): "Saya memang sudah punya pacar, tapi saya sudah tidak bisa melanjutkannya. Kami punya masalah, dan saya hanya mencari waktu yang tepat untuk mengakhiri hubungan kami. Jadi, mohon tunggu saya sebab saya hanya ingin bersama kamu". 
Namun, waktu membuktikan bahwa tidak ada tanda-tanda apapun yang menyiratkan bahwa laki-laki tersebut akan segera mengakhiri hubungan dengan pacarnya. Untuk bagian yang ini, kesimpulan sementara saya adalah: banyak orang (dan mungkin terutama laki-laki) mendambakan hubungan dengan pasangan yang baru tetapi tidak memiliki cukup keberanian untuk meninggalkan yang sudah ada (maunya double gt). But, sebelum lanjut, sekali lagi saya tekankan bahwa tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk memojokkan atau menuduh kaum tertentu. Saya hanya mencoba untuk mengungkapkan sesuatu berdasarkan apa yang terlihat jelas selama ini. Toh dalam pemahaman kita, sesuatu yang kita lakukan secara berulang-ulang akan menjadi kebiasaan, dan sesuatu yang sudah biasa itu seringkali dikaitkan dengan adanya "bawaan yang sudah dari sononya" di dalam tubuh manusia. Namun, ini tentu masih perlu dibuktikan. Besar harapan saya bahwa saya dan semua pembaca akan mendapatkan suatu bekal pemahaman dan pelajaran yang baru melalui tulisan ini. Maka, pertanyaan saya yang mungkin bisa menjadi perenungan dan pencarian kita bersama adalah: Apakah mungkin "gen berselingkuh/berkhianat" ada di dalam tubuh setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, namun lebih besar persentasenya pada tubuh laki-laki? Pertanyaan ini muncul sebab saya melihat dan "merasakan" bahwa perselingkuhan adalah hal yang sepertinya tidak akan pernah berakhir dan tidak akan pernah dapat dihindari oleh siapapun dalam setiap hubungan mereka. Laiknya korupsi yang semakin jelas merupakan suatu kejahatan namun semakin bertebaran juga pelakunya, maka begitu pulalah perselingkuhan (perselingkuhan yang saya maksud di sini adalah segala bentuk pengkhianatan dalam sebuah hubungan, sebab dalam beberapa tulisan, perselingkuhan memiliki makna yang lebih spesifik - laki-laki/ perempuan yang melakukan hubungan intim dengan orang lain setelah mereka berstatus istri/suami - dibanding dari sekedar memiliki "hubungan spesial" dengan orang lain ketika sudah memiliki pacar atau suami/istri.)

2nd Point:
Menyambung kalimat terakhir pada poin pertama di atas, perselingkuhan dalam sebuah hubungan tidak mengenal siapa yang sedang menjalin hubungan. Intinya, perselingkuhan dapat terjadi pada siapa saja dan dmn saja. Untuk poin ini, saya beri contoh: Mendiang Putri Diana. Siapa yang tidak mengenalnya? Perempuan cantik, anggun, berkharisma, baik hati, ramah, disayangi oleh banyak orang (terbukti ketika dia meninggal, seluruh mata di dunia ingin menyaksikannya walau hanya melalui layar kaca), dan itulah sebabnya saya pun sangat mengaguminya.  Tapi, ternyata semua kelebihan yang ada padanya tidak menjamin bahwa sang Pangeran tak akan pernah mengkhianati dirinya. Dalam sebuah kutipan, Putri Diana menuturkan: "Kita bertiga di dalam pernikahan ini, sehingga rasanya agak terlalu sesak". 
Well, patah hati dan rasa sakit pun tidak mengenal tubuh mana yang akan merasakannya. Toh, sang Putri pun mengalami penderitaan batin yang hebat semasa hidupnya. Jadi, bagi semua pembaca yang pernah mengalami patah hati karena dikhianati oleh kekasih-kekasih hatinya - dan terutama saya tujukan bagi para perempuan, sebab perempuan cenderung lebih lama meratapi diri dan bersedih - pandanglah sosok lain yang menurut anda memiliki segalanya tapi ternyata tetap tak mampu menghindarkan pengkhianatan dari hubungan mereka. Artinya, anda bukanlah seseorang yang lebih buruk. Anda bukan manusia yang tidak berharga, tidak cantik dan tidak ganteng sehingga kekasih anda mengkhianati anda. Sekali lagi yang menjadi inti ialah: Perselingkuhan dapat terjadi pada siapa saja, dimana saja dan dengan RASA SAKIT YANG SAMA PULA!

3rd Point: 
Pada bagian ini saya hendak mengungkapkan dampak yang mungkin akan dialami oleh semua orang yang pernah atau sedang dikhianati (namun lagi-lagi bagian yang ini saya utamakan bagi para perempuan, sebab saya berangkat dari konteks kita dimana perempuan masih sering dipandang sebagai kaum yang lemah, sehingga dianggap tidak dapat berbuat apa-apa tanpa laki-laki). Namun, saya percaya bahwa semua kerabat yang membaca tulisan ini adalah orang-orang yang menjunjung tinggi kesetaraan dalam hidup.
Bagi saya sendiri, tidak ada kaum yang lebih unggul dari kaum yang lain, sehingga kedua kaum, baik laki-laki maupun perempuan, keduanya harus mengusahakan kesetaraan tanpa pernah memposisikan kaum sendiri maupun kaum yang lain sebagai pihak yang lebih lemah. Nah, pernahkah pembaca menyadari bahwa perempuan memiliki double burden alias beban ganda ketika menjadi "target perselingkuhan?" 
Kesetaraan gender adalah hal yang mutlak harus diwujudnyatakan dan diperjuangkan serta dinikmati bersama-sama. But, ketika seseorang menjadi target perselingkuhan, maka tanpa sadar ia telah memberi ruang bagi beban yang baru untuk membatasi kehidupannya. Ok, laki-laki mungkin tidak akan terlalu ambil pusing, sebab perasaan laki-laki itu tidak se-sensitif perasaan perempuan ketika sedang patah hati, sehingga mungkin ini yang menyebabkan kaum lelaki lebih cenderung mudah untuk move on. Namun, bagaimana dengan perempuan? Dalam beberapa kasus yang saya jumpai, perempuan yang menjadi target perselingkuhan oleh laki-laki yang sudah memiliki kekasih seringkali menjadi "korban"; korban perasaan, korban pikiran, tenaga, waktu dan sangat mungkin akan kehilangan banyak kesempatan. Setelah sekian lama berada dalam "penantian yang tidak pasti", di akhir cerita toh banyak pihak laki-laki yang tak mampu bersikap tegas untuk menentukan pilihan, sehingga pihak perempuan mulai bosan dan ilfil. Di luar sana, kabar yang beredar luas ialah: si perempuan sedang berusaha untuk merebut pacar orang lain, tidak tahu malu, tidak punya harga diri, dsb., dan semua itu lebih banyak akan terdengar dari "kaumnya sendiri", yang dalam hal ini sesungguhnya tidak sedang berusaha memposisikan diri menjadi perempuan lain yang justru sedang bersusah hati karena merasa ditipu (meski di awal cerita telah melakukan kesalahan dengan bersedia menanti yang tidak pasti). Ok, ada kasus-kasus lain dimana para perempuanlah yang berusaha menggoda meski tahu benar bahwa laki-laki yang sedang mereka goda sudah memiliki pasangan. Akan tetapi, persentase untuk kasus perselingkuhan yang dimulai oleh perempuan lebih kecil, sehingga kita akan kembali pada kasus pertama untuk sekaligus menyesuaikannya dengan "dampak" dan advice yang saya maksudkan pada poin ini. Saya juga telah sempat menyebutkan bahwa salah satu dampaknya adalah: sangat mungkin perempuan akan kehilangan banyak kesempatan (yang baik). Ketika lingkungan sekitar memandangnya rendah sebab dianggap sebagai "perempuan perebut pacar/suami orang", maka cap negatif tersebut mungkin saja akan membuatnya "tidak digunakan" dalam kegiatan-kegiatan tertentu. Katakanlah di tempat-tempat ibadah. Cibiran orang-orang di sekitar secara tidak langsung akan membatasi langkahnya, sehingga ia harus menanggung malu dan seperti kata ungkapan: kata-kata yang telah terucap dari mulut tak akan dapat ditarik kembali. Demikianlah juga si perempuan, tak akan memiliki cukup daya untuk memberikan klarifikasi pada puluhan bahkan ratusan orang tentang kejadian yang sesungguhnya. 
Itu untuk perempuan yang adalah target perselingkuhan. Lalu, bagaimana dengan perempuan yang diselingkuhi? Saya mendapati bahwa ketika seorang perempuan dikhianati, ia akan kehilangan rasa percaya diri yang sangat hebat. Ia akan mengalami krisis kepercayaan terhadap rang lain, merasa tidak berharga, merasa bahwa harga dirinya diinjak-injak, merasa tidak memiliki sesuatu untuk dibanggakan, merasa kalah dalam hal penampilan (termasuk kecantikan fisik), kepintaran, kekayaan, rasa saling mengerti dalam hubungan dsb. Intinya, seorang perempuan yang diselingkuhi (mungkin) akan mempertanyakan: Apa yang kurang dari diri saya?; tak jarang pula yang melontarkan ucapan: sampai hati, tega banget, tidak percaya, tidak masuk di akal, atau yang lagi nge-tren: sungguh terlalu ! Untuk beberapa waktu yang mungkin cukup lama, tidak sedikit perempuan yang dikhianati oleh pasangannya memilih untuk tidak mudah percaya pada laki-laki manapun, bahkan ada yang trauma dan memutuskan untuk tidak lagi berpacaran atau menikah. 

See? Dalam hal ini, perselingkuhan membuat kedua pihak perempuan mengalami masa-masa yang berat dalam hidup, sehingga sulit untuk berinteraksi dan bahkan mengalami "keterbelakangan" dalam hal kesetaraan gender yang sudah kita sepakati tadi. Dengan kata lain, perselingkuhan seringkali berdampak pada kondisi mental para perempuan. Bukankah kita semua - laki-laki dan perempuan - sedang dan akan terus berusaha untuk memperjuangkan kesetaraan dalam hidup ini? Bukankah kita tidak senang dan bahkan tidak menghendaki jika para perempuan pada akhirnya dimarjinalkan dari berbagai peranan yang ada dalam dunia ini? Bukankah sekarang ada banyak kaum lelaki yang turut berkontribusi baik tenaga maupun pikiran untuk hal kesetaraan tersebut? Namun dengan melakukan perselingkuhan, sebenarnya secara tidak sadar kita sendiri telah menggagalkan upaya dan perjuangan kita untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, adil dan damai... 

Meskipun demikian, sebagai perempuan yang juga pernah mengalami masa-masa yang berat tersebut, saya hendak berbagi dan berharap sekiranya apa yang saya sharing-kan ini dapat menjadi secercah harapan dan semangat baru bagi mereka yang mungkin masih berada dalam peperangan batin yang hebat itu.. Setelah beberapa kali mengalami, saya akhirnya memutuskan untuk menjadi perempuan yang tangguh (: Ya, saya sungguh memahami bahwa tak ada yang lebih tepat untuk dirasakan ketika dikhianati selain kepedihan dan mungkin mati rasa, namun percayalah... Di dunia ini, tak ada satupun kuasa yang mampu menghancurkan harapan hidup seseorang... Ketika kau dikhianati, bangkitlah dan jadilah tegar.. Selalu saya tekankan pada teman-teman perempuan: Jadi perempuan harus mampu membangun kehidupan sendiri, agar ketika dikhianati oleh siapapun, kita akan tetap mampu melanjutkan kehidupan tanpa harus bergantung pada siapapun, termasuk oleh mereka yang telah mengkhianati kita. Artinya, kebahagiaan dalam hidup ini sungguh diri kita sendirilah yang menentukannya (seperti kata komersial favorit saya: manisnya hidup kita yang tentukan ^^).. Memang kita membutuhkan orang lain untuk melengkapi semua itu, namun pilihan yang tepat akan menyempurnakan harapan hidup kita... Ketika memilih untuk terus meratap dan bersedih, maka kita ternyata sedang memberi mereka peluang untuk lebih menghancurkan harga diri kita.. Namun ketika kita mampu bangkit dan melanjutkan kehidupan dengan sikap yang tegap, bukankah berpasang-pasang mata di sekitar akan memandang dan memetik hikmah yang manis dari hidup kita? Maka saat itu juga, terjadilah juga apa yang saya sebut dengan double blessing: (1)Tidak terpuruk/mampu bangkit dari keterpurukan  dan (2) semangat hidup kita menjadi berkat bagi orang lain... Ya toh? Hehehe.. 

Jadi karena perselingkuhan sepertinya memang akan terus-menerus menjadi kebiasaan dalam dunia ini, maka hal terbaik yang dapat kita lakukan adalah mempersiapkan diri sebaik2nya.. Bangunlah kehidupanmu sendiri, agar ketika kau (harus) menghadapinya, kau telah memiliki bekal untuk tetap mampu melanjutkan perjalanan dengan hati yang tegar ^^!  

P.S:

1. Tulisan ini tidak bermaksud mengajak teman-teman semua untuk tidak berpacaran atau menikah, dan dengan menuangkan ide di atas, bukan berarti saya apatis terhadap kedua hal tersebut (saya tetap perempuan normal yang mendambakan itu koq, hehehe).

2. Tulisan ini lebih jauh mengajak teman-teman pembaca untuk mampu menata dan membangun kehidupan sendiri sebaik mungkin, agar kelak tidak harus menggantungkan kebahagiaan dan kelanjutan hidup pada diri orang lain; sebab, persoalan utama kita sekarang adalah pengkhianatan/perselingkuhan yang telah begitu mewarnai wajah hubungan spesial (pacaran) dan pernikahan di seluruh dunia (baik yang diketahui/tidak), sehingga terjadi ataupun tidak, mempersiapkan diri sebaik mungkin tetap akan menjadi pilihan paling bijak yang tidak akan membuat kita mengalami kerugian apapun.

3. Saya berharap agar para lelaki dapat mempertimbangkan banyak hal sebelum memutuskan untuk membangun 2 hubungan spesial sekaligus. Jika memang dalam sebuah hubungan terjadi persoalan yang mungkin akan berujung pada perpisahan, maka alangkah lebih baik untuk menyelesaikan persoalan tersebut terlebih dahulu barulah memulai dengan yang lain. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dan tidak menimbulkan rasa sakit hati dan saling membenci pada kedua belah pihak (yang menjadi target perselingkuhan maupun yang diselingkuhi). 
Ok, ini untuk kita semua, bukan hanya untuk para lelaki saja: Kita semua adalah manusia yang diciptakan untuk hidup saling mengasihi dan berbagi cinta dengan semua orang, siapapun dia. Kita semua terpanggil untuk sebisa mungkin tidak menyakiti perasaan orang lain dan sebaliknya, justru berusaha untuk menghadirkan rasa damai dalam hidup sesama. Jika demikian kerinduan kita dalam dunia ini, lalu masakan dengan pacar/istri/suami sendiri kita sampai melukai perasaan mereka?

Semoga tulisan ini dapat menginspirasi semua pembaca untuk lebih menghargai dan menjaga hubungan dengan orang yang dicintai ((: 


Intermeso:
Sebenarnya ketika  menuliskan ide di atas, saya sempat mengalami kebingungan.. Di dalam diri saya, saya percaya bahwa setiap manusia sungguh memiliki keinginan dan kerinduan untuk melakukan semua hal yang baik. Hanya saja, ketika bertemu kesempatan manusia seringkali tak mampu bersikap profesional untuk menolak apa yang ternyata jahat di mata dunia dan Tuhan... Akan tetapi, di sisi yang lain saya terpikir tentang adanya semacam gen  jahat di dalam tubuh manusia, yang membuat kejahatan itu menjadi hal yang biasa-biasa saja, lumrah dan memang wajar untuk terjadi; mengingatkan saya pada paham kaum dualis ^_^ Entahlah....



Best,
Ms. Sugar ((:



Wednesday 16 July 2014

Oleh-oleh dari Jakarta !

21.43pm

4 Juli 2014...
Aq kembali ke kota itu..
Ya, ke Jakarta.. Kota yang menyimpan sejuta kenangan..
Tepat pukul 12.30 ketika aq tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, aq memutuskan untuk beristirahat sejenak di deretan kursi yang tersedia di dekat lokasi baggage claim.
30 menit kemudian aq bergegas meninggalkan bandara dan menumpang di sebuah DAMRI tujuan Pasar Rebo..
Di sepanjang perjalanan aq menengok ke kanan dan kiri, memperhatikan gedung-gedung dan jalan yang rasanya tidak asing bagiku.. Namun ternyata, penglihatan yang hanya sekilas tersebut berhasil memanggil kembali semua kenangan yang telah terkubur lama di dasar hati.. Ya.. Semua kenangan tentang dirimu rasanya hidup kembali, dan perasaanku menjadi sedikit tak karuan...

***
12 hari di Jakarta...
Sempat bertemu denganmu di kota itu ternyata bukan sepenuhnya hal yang baik bagiku...
Semua kenangan yang hidup kembali sejatinya menyiksaku dan membuatku sedikit sulit untuk menata kembali perasaanku menjadi normal seperti biasanya...

Dan benar saja...
Setelah kembali ke Makassar, di sepanjang perjalanan menuju Palopo, aq baru menyadari bahwa ternyata luka itu belum sembuh.. Hari itu aq hanya memendamnya begitu saja karena aq berusaha untuk memfokuskan diri pada hal lain yang kurasa cukup penting dalam hidupku.. Lagipula aq jauh, apa yang bisa kulakukan untuk mengubahmu? Memaksakan kehendak tentu bukan hal yang baik...
Maka hari itu, kupikir cukup hanya dengan memendamnya.. Berbulan-bulan aq juga menyangka bahwa luka itu sudah hilang, sebab aq mendapati diriku mampu menjalani kehidupanku tanpa kesulitan dan beban pikiran karenamu..
Tapi, hari ini aq mengerti bahwa yang kulakukan hari itu hanyalah menumpuknya.. Ia menjadi seperti gunung es yang hanya menanti waktunya untuk meletus, dan itulah klimaksnya.. Mungkin, Tuhan hendak berkata padaku: Urusan yang lain sudah selesai, maka inilah saatnya bagimu untuk memikirkan dan menyelesaikan apa yang belum selesai waktu itu..

 Hari ini sangat terasa, terasa sakit dan sulitnya untuk memahami semua hal yang telah terjadi... Yaa.. orang bilang kekecewaan dan sakit hati itu akan terasa bahkan sampai ke tulang sum-sum.. Hari ini aq bahkan tak mampu menahan butiran-butiran bening yang mengalir di pipiku... Tapi, baiklah.. Aq akan berusaha untuk menikmati dan berdamai dengan rasa sakit ini.. Aq tak tahu berapa lama waktu yang akan kubutuhkan untuk mampu menghapus dan mengikhlaskan semua hal yang pernah kita jalani selama 5 tahun, namun aq percaya semua akan kembali membaik, dan terima kasih, karena jika tanpa pertemuan kita kemarin, persoalan ini mungkin tidak akan pernah selesai..


*Mengharapkan semua yang terbaik bagimu, F.R.E.W..

In the deepest sadness,
 ~E.W.T~



Saturday 31 May 2014

Anak-ku... Biarkan Aku Mati Bersama-Mu

Hermannsburg, 
13.40

Menjelang Paskah, film Tuhan Yesus adalah sesuatu yang nampaknya wajib ditayangkan di setiap gereja (terutama di Indonesia), dengan maksud mengingatkan kembali tentang pengorbanan Kristus di Kayu Salib.

Saya berterima kasih kepada semua pihak yang telah bekerja keras membuat berbagai versi tentang film Tuhan Yesus. Bagi saya, semua yang divisualisasikan sangat menolong untuk memberi gambaran dan memahami dari berbagai sudut pandang.. Toh, tidak ada dari kita yang benar-benar melihat peristiwa penyaliban bukan? Semua film dibuat berdasarkan narasi kitab Injil, yang berarti, terbuka kemungkinan untuk dibumbui dengan berbagai aspek tertentu sebagai bagian dari interpretasi para sutradara -atau mungkin ada teolog yang turut berkontribusi di dalamnya? who knows. 

Versi Injil Lukas adalah yang paling sering saya saksikan ketika saya masih kecil. Entah kapan terakhir saya menyaksikan versi tersebut, namun hampir 10 tahun terakhir ini, The Passion of Christ menjadi pilihan satu-satunya. Film yang dirilis tahun 2004 silam tersebut memang menuai begitu banyak kontroversi, namun tidak sedikit pula yang mengacungi jempol. Salah satu pihak yang begitu merasa dirugikan dengan munculnya versi The Passion of Christ ialah kalangan-kalangan tertentu dari orang Yahudi, yang menilai film tersebut seolah-olah mempertontonkan kesalahan orang Yahudi yang menyeret Yesus ke tiang salib. Belum lagi Mel Gibson, sang sutradara, dipercaya sebagai seorang anti-semitik, dan ayahnya menyangkali tragedi Holocaust yang pernah membantai habis jutaan warga Yahudi tersebut. Selain itu, poin lain yang dipersoalkan ialah konten kekerasan yang dipertontonkan, di mana sang tokoh Yesus benar-benar berlumuran darah ketika dicambuk dan dipukuli, dan adegan menuju Golgota juga terlihat begitu ekstrim. 

Namun, kecurigaan beberapa kalangan tentang aspek anti-semitik yang hadir melalui The Passion of Christ sesungguhnya telah dibantah  oleh Maia Morgenstern, sang pemeran tokoh Mary, yang adalah seorang keturunan Yahudi. Ayahnya adalah seorang survivor alias satu dari sekian yang selamat dari Auschwitz Concentration Camp, salah satu Kamp Konsentrasi Nazi yang terletak di Polandia. Memang, menurut Morgenstern, selain untuk memperlihatkan penderitaan Kristus -agar umat dapat menghayati betapa mahalnya pengorbanan tersebut- ada aspek lain yang hendak dijadikan pesan, yakni: untuk memahami betapa mudahnya massa digerakkan oleh para penguasa, atau bagaimana orang-orang dapat dimanipulasi oleh para pemimpin. Jadi, ini pesan penting menurutnya. Saya juga tidak tahu mengapa segala sesuatu yang saya baca dan saksikan beberapa bulan terakhir selalu saja ada kaitannya dengan tragedi Holocaust, tetapi di sini, poin saya bukanlah itu, dan saya tidak ingin mengaitkannya lebih jauh ke sana.

Apapun interpretasi banyak orang mengenai versi The Passion of Christ, bagi saya pribadi, ada 1 pesan yang juga tidak kalah penting dari tujuan untuk mengenang penderitaan Kristus ataupun seperti yang disebutkan oleh Morgenstern di atas -bahkan Morgernstern sendiri tidak menyebutkan sisi ini sebagai salah satu tujuan dari film tersebut. Selama ini, ketika menyaksikan film Tuhan Yesus, beberapa dari kita pasti menangis, atau setidaknya, hampir semua merasa sedih dan tersentuh. Sedih dan menangis karena tidak tega melihat Kristus dicaci, diludahi, diseret ke sana-sini, dipukul, dicambuk, dan lalu dalam keadaan yang sudah sangat sekarat masih juga harus memikul kayu salib ke atas bukit Golgota. Tentu saja sangat menyedihkan, dan tidak jarang itu menyayat hati kita yang merasa sudah diselamatkan melalui penderitaan tersebut. 
Namun, berapa dari kita yang pernah memperhitungkan perasaan sang ibu, Maria? Berapa dari kita yang pernah turut larut dalam pergolakan batinnya yang harus merelakan daging dari dagingnya untuk mati di kayu Salib? Adakah yang pernah menangis untuk Maria? 

Saya secara pribadi harus mengakui bahwa saya telah berkali-kali menangis untuknya karena kebesaran hatinya. Tanyakan pada semua ibu di dunia ini, adakah yang rela ketika anak-anak mereka menderita? Tentu tidak ada! Inilah salah satu alasan mengapa saya memilih untuk lebih sering menonton versi The Passion of Christ: perasaan sang ibu terekspresi dengan begitu jelas melalui peranan Maia Morgenstern, dan bagi saya, semua yang tergambar melalui perannya adalah hal-hal yang sangat mungkin terjadi kala itu.

Terlalu feminis menguak sisi sang Ibu? Tidak juga. Tapi, kalaupun dianggap demikian, ya tidak masalah juga. Toh menurut saya, sejak Allah memilih Maria untuk mengandung bayi Yesus (atau sejak Allah memutuskan untuk menyatakan kehadiran Yesus melalui rahim manusia -yang artinya harus melalui perempuan), sesungguhnya itu adalah bagian dari karya Allah untuk membebaskan kaum perempuan yang kala itu terpinggirkan dan dianggap tidak memiliki peranan apa-apa, terutama dalam urusan keagamaan. Jadi, sejak Yesus ditetapkan untuk dikandung di rahim Maria, sejak saat itu pulalah pembebasan terhadap kaum perempuan didengungkan (kembali). 

Bahkan, untuk mempertegas bahwa perempuan juga sama berhaknya dengan laki-laki dalam mewartakan Injil, Allah menjadikan perempuan sebagai penerima dan pengabar Injil pertama itu sendiri. Ya, dialah Maria. Dialah yang kepadanya Malaikat menyapa dan membawa Kabar Baik itu. Dan satu hal lagi, bahwa Allah, melalui malaikat Gabriel, menyapa Maria dengan begitu terhormat: "Salam, hai engkau yang dikaruniai." (Luk.1:28). Atau melalui Elizabeth, sanaknya: "Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu." 

Saat menyerukan hal tersebut kepada Maria, Elizabeth dipenuhi dengan Roh Kudus, yang berarti dari Allah sendiri (Luk.1:41). Sementara itu, sebelum mati di kayu salib, Yesus berseru kepada Sang Ibu: "Ibu, inilah, anakmu," dan kepada para murid: "Inilah ibumu." (Yoh.19:26-27). Dalam penafsiran saya, pernyataan Yesus tersebut sangat dalam maknanya. Ia menyerahkan para murid kepada sang Ibu, dan begitu pula sebaliknya, yang berarti: menyatukan keduanya. Sang Ibu diserahkan kepada persekutuan umat percaya, dan demikian pula umat dipersatukan dengan sang Ibu yang adalah simbol pembebas tadi; belum lagi tentang pengorbanannya merelakan Sang Anak. Maka, bagaimana bisa diabaikan perannya dalam mewartakan Injil, sementara dia sendirilah yang bukti pengorbanannya paling besar demi kemaslahatan Kabar Baik. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Allah sendiri saja, yang adalah Pencipta, begitu menghargai dan menghormati perempuan, makhluk ciptaan-Nya, lalu bagaimana mungkin sesama manusia yang lain bisa merendahkan mereka?

Baiklah, itu sekilas tentang sisi feminis yang mungkin bisa dikaji dari perspektif Maria. Namun di sini, sekali lagi tujuan saya hanya ingin mengajak pembaca untuk sekedar mengenang kebesaran hatinya. Telah saya singgung di atas, tentu saja tidak ada ibu di dunia ini yang tega menyaksikan anak-anak mereka menderita. Dalam adegan The Passion Christ, Maria digambarkan terus mengikuti Yesus sejak di hadapan para Imam Besar, ketika disiksa di bawah perintah Pilatus, hingga ke Bukit Golgota. Memang, tidak semua Kitab Injil menyaksikan hal tersebut, namun Injil Yohanes adalah satu-satunya yang menyebutkan secara jelas bahwa Maria, Ibu-Nya -bersama beberapa perempuan yang lain- turut berdiri tidak jauh dari kaki salib Yesus (Yoh. 19:25).
 
adegan ketika Maria menyaksikan Yesus dicambuk, dan menyeka darah-Nya, sesudahnya.

Tentu saja kita paham benar bahwa Maria sudah menyadari semua resiko yang harus ditanggungnya ini, sebab sedari awal Malaikat Gabriel sudah menggemakan maksud Allah kepadanya. Patut diteladani kepatuhan yang membuatnya selalu berujar, "Jadilah padaku seperti yang dikehendaki Allah." Namun, tetap saja, menyaksikan Yang Dikasihi berjalan menuju kematian sungguh mengoyak batinnya. Ia hancur berkeping-keping, dan siapa yang tahu kalau hari itu mungkin saja dia sempat akan menggugat Allah? Rasa sakitnya tentu sampai ke tulang sum-sum, sungguh tak terbayangkan. Semakin terasa ketika sesekali matanya bertatapan dengan mata Sang Anak, dan setiap kali hal itu terjadi, ia selalu teringat akan hari-hari yang telah mereka lalui bersama. 

 Adegan ketika Maria berlari menembus kerumunan, menopang Yesus untuk berdiri kembali setelah Ia tersungkur. Di saat yang sama, memori tentang masa kecil Sang Anak terngiang di kepalanya, tatkala Sang Anak terjatuh dan ia berlari menggendong-Nya sembari berkata: "Ibu di sini."

Pada adegan di atas, Yesus merespon Ibu-Nya: "Ibu, lihatlah, Aku membuat segala sesuatu baru." Sekali lagi, Maria sadar benar akan tujuan tersebut. Tetapi, siapa yang dapat menyangkal bahwa ada bagian dari dirinya yang tidak mampu menerima penderitaan fisik Sang Anak? Maria sungguh tersiksa hari itu. Bahkan, sempat ia berucap: "Anak-ku.. Bilamana, dimana dan bagaimana, Engkau akan memilih untuk terbebas dari semua ini? Ungkapan tersebut jelas menggambarkan betapa hari itu Maria sangat bergumul dengan Allah. 

Namun, dari semua adegan yang diperankan oleh Morgenstern, ada satu yang paling menyentuh hati saya (dan ini juga ekspresi yang sangat mungkin terjadi kala itu). Tepat di kaki salib, ketika Maria melihat Yesus yang dipaku berseru kepada Allah: "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat," air matanya sudah hampir kering. Ia memang menangis, namun sepertinya sudah berada pada puncak kepedihan, sehingga bukan lagi air mata yang menjadi penanda kesedihan dan kesakitannya, tetapi seperti yang tergambar di bawah ini:

Maria menggenggam kerikil di hadapannya dengan sangat kuat. Kalau sekarang ini, melakukan hal tersebut mungkin kita sertakan juga dengan menggertakkan gigi, di mana segala rasa: sedih, marah, tak berdaya, tak tahu lagi harus berbuat apa, bercampur menjadi satu.
*Maka, dengan semua yang ia rasakan, genaplah kesaksian Simeon kepadanya di Bait Allah: "...Suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri..." (Luk.2:35)

Tanpa mengesampingkan peran Bapak, kita tahu bahwa Ibu adalah orang yang paling berani mengambil keputusan tatkala anak-anak menderita sakit. Jika saja anak yang sakit dapat membagi rasanya untuk ditanggung bersama-sama, atau jika boleh bertukar posisi dengan anak sehingga biarkan Ibu saja yang menanggung kesakitan tersebut, maka Ibu akan rela melakukan. Tepat seperti itulah perkataan terakhir yang terucap dari mulut Maria di akhir dari semunya, ketika ia menatap Yesus yang salib-Nya sudah berdiri tegak: "Daging dari dagingku, Hati dari hatiku.. Anak-ku, biarkan Aku mati bersama-Mu." Sangat menyakitkan, bukan? Meski hanya merupakan bagian dari penafsiran, tetapi bagi saya, Mel Gibson, melalui Maia Morgernstern, telah memperlihatkan hal dan sisi-sisi yang paling mungkin diucapkan dan diekspresikan oleh sang Ibu dalam segala keputusasannya. 


Maka, berdasarkan semua penggambaran di atas, saya rasa tidak salah jika kita mencoba menerawang Maria demikian, sehingga, tidak berlebihan jika setiap kali memperingati Jumat Agung, memperingati penderitaan dan pengorbanan Kristus yang sangat mahal itu, kita sertakan juga ucapan terima kasih kepada Sang Ibu yang tidak kalah menderitanya. Bagaimanapun, Maria adalah Ibu kandung-Nya. Dia telah berkorban begitu rupa, namun namanya sangat jarang walau sekedar untuk diingat sebagai seseorang yang juga telah turut ambil bagian dalam Karya Penyelamatan manusia. Jadi, selain (hanya) mengenalnya sebagai seorang Perawan Suci, akan kita kenang seperti dan sebagai siapakah dia? :) 


Selamat memperingati Hari Jumat Agung, selamat memaknai pengorbanan Allah di dalam Yesus Kristus, melalui rahim dan kepedihan Maria...

Best,
ElimWTaruk.

Friday 23 May 2014

Hidup Sehat Yukkkk :D

Bonjouuuurrrrr Blogxy...
Long time no see ya, heheh.. 

Rindu juga.. Maklum-lah, baru saja menyelesaikan segala sesuatu yang berhubungan dengan skripsi, dan baru sempat untuk corat-coret lagi di sini ((:

Oh ya.. dalam setengah tahun ini saya mengalami banyak hal yang sangat mengharukan, di antaranya:
-  masih bs memperingati Jumat Agung dan merayakan Paska,
- pertambahan usia papa dan mama,
- selesai seminar proposal; skripsi jg sudah kelar dan saat ini sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian/sidang pada tanggal 2 Juni mendatang *doakan ya ((:
- menerima kabar dari panitia program "Bridging the Gaps", Vrije Universiteit Amsterdam, yang menyatakan bahwa saya lolos utk mengikuti program tahunan tersebut..
- (juga) menerima kabar baik dari Georg-August-Universitat-Gottingen, Jerman, yang (juga) menyatakan bahwa saya diterima untuk studi lanjut pada program "Teologi Interkultural", yang akan dimulai pada bulan Oktober mendatang.. *yang ini dream comes true, hehe Praise the Lord..
- dll :D

* Merasa begitu diberkati dengan semua hal-hal luar biasa yang boleh saya alami dalam hidup ini.. Saya sadar (dan maafkanlah hamba-Mu ini jika sempat khilaf) bahwa segala sesuatu yang diperoleh dalam hidup ini adalah semata-mata karena Anugerah-Nya... Ya.. Hanya karena Anugerah-Nya..Thanks, my Lord..

---

Saya orang yang sangat memuja jam belajar di atas jam 12 malam - pagi *tidur 1-2jam, atau bahkan tidak tidur semalaman dan besoknya langsung beraktivitas secara total lagi, seringkali bukanlah masalah bagi saya.. Ya, saya sudah sangat terbiasa dengan jam-jam berlajar tersebut *entah kenapa, tapi rasanya lebih nyaman dan lebih fokus saja (mungkin karena lebih tenang ya? hehe)... 
Selama ini sih, saya baik-baik saja.. Selama di INTIM (bahkan sejak SD) saya belum pernah masuk RS.. So.. Dengan jadwal belajar di atas saya merasa aman-aman saja karena belum pernah merasakan sakit yang cukup serius atau bahkan dirawat inap di RS...

Tapi, ternyata saya harus mengubah cara berpikir saya, mulai dari sekarang...
Seminggu setelah skripsi selesai, saya mulai merasakan keanehan pada tubuh sebelah kiri... Hampir seluruh bagian tubuh dari ujung kepala sampai ujung kaki mengalami kesemutan yang cukup lama, dan sesekali dibarengi rasa nyeri... Awalnya berpikir bahwa itu karena kecapekan saja.. Tapi, ternyata sampai pada saat saya menulis di blog ini, rasa nyeri tsb masih sering muncul... 
Agak khawatir, tapi saya tidak begitu terbiasa berurusan dengan dokter--kecuali dokter gigi :D-- jadinya agak enggan juga untuk memeriksakan diri...

Sejauh ini, saya hanya mencoba untuk mengubah pola hidup--menjadi lebih sehat tentunya...
Oh ya, sebelum menjelaskan tentang pola hidup sehat saya sekarang, FYI, saya termasuk perempuan pecandu kopi *tolong dicatat ya.. Sehari bisa 2-3 gelas, dan pusing rasanya kalau tidak memulai pagi dengan segelas kopi :(
Nah, karena menjadi pecandu kopi "saya rasa" bukanlah kebiasaan yang baik, maka itu termasuk dalam bagian yang saya ubah demi mewujudkan hidup yang lebih sehat.. Sekarang saya:
- Sangat mengurangi konsumsi kopi (sekarang bisa 2-3 kali saja seminggu), *yeahhh :D
- Memperbanyak minum air putih *bisa sampai 4500-6000ml/hari... *Nah, bingung kan? Itu lho.. 4 botol aqua yang besar, hehehe.. 
- Memperbanyak konsumsi buah (yang punya banyak kandungan air sih lebih bagus mungkin ya) seperti: pear, apple, jeruk, sirsak, pepaya, dkk., untuk menopang kebutuhan vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh ^^
- (Ini yang luar biasa menurut saya) Jam tidur harus benar-benar 6-8 jam sehari.. kadang bisa nembus 10 jam, wuahhhhhh. Padahal, mengubah kebiasaan itu tidak mudah lho menurut saya, sama tidak mudahnya ketika meminta seorang pecandu rokok untuk mengubah kebiasaan tersebut dalam waktu singkat. Jadi, menurut saya ini adalah sebuah prestasi, hehehe.. Selama ada niat untuk sesuatu yang lebih baik, sepertinya sih akan lebih mudah dan sangat dinikmati prosesnya.. Dan ya, saya rasa saya berhasil (: (: *Jam 10 atau 11 malem udah tidur, bangun jam 6 (kalau jam bangun sih nda pernah berubah, hehe)..
- Lebih banyak makan nasi, sayuran, tempe tahu dan ikan.. *sedang mengurangi konsumsi daging ayam (terutama yang jenis2 fastfood) dan mie (ini makanan yang paling sering tersedia di kamar). Mie--setelah baca beberapa artikel--memang sangat tidak baik bagi tubuh. Katanya sih, bisa memicu beberapa jenis kanker dan usus buntu... Benar tidaknya (soalnya bukan orang kesehatan, hehe), ya buat jaga-jaga saja; sebaiknya teman-teman yang gemar mengonsumsi mie, dikurangilah :) 

Nahhhh.. ini dia... 
- Lebih meluangkan banyak waktu untuk bersaat teduh dan berdoa (MOST IMPORTANT, kawans, hihihi) *soalnya bukan cuma fisik yang butuh disembuhkan dan disegarkan kembali, tapi rohani juga *selama sibuk-sibuk kan, yang rohani-rohani sering banget ditinggal-tinggal; apalagi kalau sudah capek, jarang yang mau tetep doa atau baca "Buku Kehidupan", hehehe *ngaku ga? :D *ini bukan pamer tapi ya.. sekedar promosi aja *hah? ga nyambung..

- dll., dll., dll.............


:D yang jelas, sekarang baru saya benar-benar menyadari bahwa selama ini saya telah "menyakiti" tubuh saya sendiri.. Ketika dia minta waktu untuk beristirahat, saya seringkali mengabaikannya dan memaksanya untuk tetap "on" dengan kopi yang justru lebih membahayakan keadaannya.. Memang sih, kadang (bahkan sering) kesibukan-kesibukan di kampus bikin kita tidak mampu menyelesaikan semua tugas di siang/sore hari, shg malam bahkan hingga larut malam masih harus bergumul mengerjakan tugas.. Sesekali atau jika memang urgent, mungkin dapat dimaklumi lah ya *tapi sebelumnya minta maaflah pada sang tubuh, hehe.. Keadaan yang kian melemah tentu akan menyadarkan kita bahwa segala sesuatu yang kita usahakan dan perjuangkan mati-matian tidak akan ada gunanya, jika ternyata kita mendapati tubuh kita dalam keadaan "sakit" (Berhubung saya orang teologi, maka ini bisa dikaitkan dengan tema menghormati hari Sabat, yakni hari peristirahatan setelah bekerja pada hari kerja yang telah ditentukan.. Jadi, jangan memperhamba diri pada rutinitas harian shg lupa bahwa tubuh benar-benar sudah ditetapkan untuk memiliki jam istirahat yang cukup ((: )! Kan, sia-sia saja toh segala sesuatu yang kita usahakan kalau ujung-ujungnya sakit? Malah tidak bisa menikmati jadinya ^^! 
 
So, setelah membagi pengalaman ini, saya harap teman-teman semua juga dapat lebih menghargai dan menyayangi tubuh.. Silahkan beraktivitas dan berkreasi sebebas mungkin, namun tetaplah mengingat bahwa tubuh yang dengannya kita melakukan segala sesuatu, tetap membutuhkan istirahat.. Sekali lagi, jika dia meminta untuk beristirahat, maka beristirahatlah dengan nyaman *tapi ingat bangun ya :p *hehehe, piss.. 

Sekian dulu lah ya pertemuan kita.. Ada banyak ide yang muncul selama beberapa bulan terakhir, namun sayang belum nemu waktu yang pas untuk nulis *lagi butuh banyak istirahat, hihihi.. See ya..


Regards,
Miss Sugar :D