2 tahun terakhir saya berusaha memaknai Jumat Agung dari
perspektif Sang Ibu, Maria, yang telah berbesar hati merelakan daging dari
dagingnya untuk disesah lalu digantung dan mati di kayu salib. Tentu saja
pemaknaan melalui sudut pandang Maria saya lakukan tanpa mengesampingkan makna
terdalam dari kematian Kristus: pengorbanan yang menyelamatkan dunia.
Pengorbanan Kristus di kayu salib begitu mahal harganya,
sehingga tak tepat bila peringatan akan kematian-Nya berlalu tanpa komitmen
untuk terus membaharui hidup. Kematian Kristus adalah inspirasi untuk kehidupan
yang telah dimerdekakan, karena itu hidup perlu diisi dengan kebaikan yang
menginspirasi dan memerdekakan sesama.
Lalu, apa pentingnya melihat dari sudut pandang Sang Ibu?
Maria adalah Ibu kandung Yesus. Sebagai Ibu kandung-Nya, dia adalah
satu-satunya perempuan yang telah merawat, membesarkan serta menjadi saksi atas
pertumbuhan Sang Anak. Dia adalah satu-satunya perempuan yang selalu was-was
tatkala Yesus kecil berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya, tetapi dia
jugalah yang sedari awal telah memahami beban mulia yang kelak akan ditanggung
oleh Sang Anak.
Meskipun demikian, sebagai seorang Ibu kandung, tentu saja
ada bagian dari diri Maria yang tak mampu menyaksikan buah hati-Nya tersiksa.
Toh, kita semua tahu bahwa di dunia ini, tidak ada satu ibupun yang rela
melihat anaknya menderita. Oleh karena itu, dengan melihat Yang Dikasihi
berjalan menuju kematian demi keselamatan umat manusia, tak tepat bila perasaan
Maria terabaikan.
Di hari Jumat Agung tahun ini, bertepatan sekali saya dan
keluarga besar saya juga memperingati hari ke-40 kematian kakak saya, Paul. Terus
terang, Jumat Agung kali ini nano-nano
rasanya. Tetapi, sebagaimana judul yang saya berikan di atas, sebagaimana Maria
telah berjuang melewati pergolakan batinnya ketika menyaksikan Kristus menghadapi
kematian, maka demikianlah saya mencoba merefleksikan perasaan seorang ibu
bernama Martha tatkala ia mendampingi Paul di saat-saat terakhirnya.
Pernah saya begitu egois karena berpikir sayalah orang paling
terluka atas kematian Paul. Tetapi, saya kemudian mengoreksinya dan menyadari
bahwa sesungguhnya, tidak ada yang lebih terluka hatinya selain seorang Ibu
bernama Martha itu. Tanpa mengingat bahwa dia sendiri harus makan dan minum,
tak sedetikpun dia mau meninggalkan anaknya. Dialah satu-satunya pribadi yang sedari
awal mendampingi Paul hingga layar monitor menunjukkan garis lurus, yang
berarti, dia menyaksikan masa-masa paling genting saat itu.
Pertanyaan saya: bagaimana perasaan seorang ibu ketika menyaksikan
anak yang begitu dikasihinya harus menghadapi kematian di depan matanya
sendiri? Pada kenyataannya, kecelakaan membuat seperempat tengkorak Paul harus
di angkat ketika operasi, sehingga Martha tak mampu membayangkan betapa besar
kesakitan yang harus ditanggung anaknya.
Seperti Maria yang berharap untuk dapat menanggung
penderitaan Kristus (bahkan hendak mati bersama-Nya), mungkin demikian jugalah
yang sempat terbesit di benak Martha ketika mendampingi Paul. Di saat-saat
paling genting itu, hatinya berkecamuk, perasaannya tak tergambarkan (seperti
jawaban yang saya dapatkan setelah bertanya langsung padanya), dan ia seperti
kehilangan nyawanya sendiri.
Di sana, saya memahami bahwa di dunia ini, sungguh tak ada
yang dapat menandingi perasaan seorang ibu. Sama seperti Maria yang hatinya
hancur berkeping-keping ketika menyaksikan kematian Kristus, demikianlah Martha
ketika menyaksikan kematian Paul. Kedua ibu itu pecah dalam tangis, kedua ibu
itu berduka, kedua ibu itu berkabung. Namun, dalam masa perkabungan itu
pulalah, kedua ibu itu terhibur di dalam iman pengarapan kepada Allah: Kematian
Kristus memberi kehidupan yang baru bagi umat percaya; kematian Paul adalah
awal kehidupan yang baru di dalam perjumpaannya dengan Sang Pemilik Kehidupan. Tak
ada yang perlu dikhawatirkan, sebab iman menuntun orang percaya untuk
mengaminkan: kematian adalah keuntungan di dalam Kristus yang telah mati dan
bangkit itu.
Dengan demikian, saya memaknai Jumat Agung kali ini dengan
menyelipkan penghayatan iman atas kematian Paul; saya memaknai Jumat Agung kali
ini dengan tetap berterima kasih kepada Maria, Ibu Yesus, yang telah begitu
berbesar hati merelakan anak-Nya untuk mati di tiang salib; saya memaknai Jumat
Agung kali ini dengan berterima kasih kepada seorang Ibu bernama Martha, yang
telah memberi teladan iman kepada anak-anaknya, sekalipun dia sendiri harus terseok-seok
melewati masa perkabungan yang berat ini.
Selamat memperingati Jumat Agung!
Höver,
25 Maret 2016 (10.18 am)
No comments:
Post a Comment