Friday, 25 March 2016

(kali ini) Memaknai Jumat Agung dari Perspektif Maria dan Martha; 40 Hari Kematian Paul



2 tahun terakhir saya berusaha memaknai Jumat Agung dari perspektif Sang Ibu, Maria, yang telah berbesar hati merelakan daging dari dagingnya untuk disesah lalu digantung dan mati di kayu salib. Tentu saja pemaknaan melalui sudut pandang Maria saya lakukan tanpa mengesampingkan makna terdalam dari kematian Kristus: pengorbanan yang menyelamatkan dunia.   

Pengorbanan Kristus di kayu salib begitu mahal harganya, sehingga tak tepat bila peringatan akan kematian-Nya berlalu tanpa komitmen untuk terus membaharui hidup. Kematian Kristus adalah inspirasi untuk kehidupan yang telah dimerdekakan, karena itu hidup perlu diisi dengan kebaikan yang menginspirasi dan memerdekakan sesama.

Lalu, apa pentingnya melihat dari sudut pandang Sang Ibu? Maria adalah Ibu kandung Yesus. Sebagai Ibu kandung-Nya, dia adalah satu-satunya perempuan yang telah merawat, membesarkan serta menjadi saksi atas pertumbuhan Sang Anak. Dia adalah satu-satunya perempuan yang selalu was-was tatkala Yesus kecil berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya, tetapi dia jugalah yang sedari awal telah memahami beban mulia yang kelak akan ditanggung oleh Sang Anak.

Meskipun demikian, sebagai seorang Ibu kandung, tentu saja ada bagian dari diri Maria yang tak mampu menyaksikan buah hati-Nya tersiksa. Toh, kita semua tahu bahwa di dunia ini, tidak ada satu ibupun yang rela melihat anaknya menderita. Oleh karena itu, dengan melihat Yang Dikasihi berjalan menuju kematian demi keselamatan umat manusia, tak tepat bila perasaan Maria terabaikan.
Di hari Jumat Agung tahun ini, bertepatan sekali saya dan keluarga besar saya juga memperingati hari ke-40 kematian kakak saya, Paul. Terus terang, Jumat Agung kali ini nano-nano rasanya. Tetapi, sebagaimana judul yang saya berikan di atas, sebagaimana Maria telah berjuang melewati pergolakan batinnya ketika menyaksikan Kristus menghadapi kematian, maka demikianlah saya mencoba merefleksikan perasaan seorang ibu bernama Martha tatkala ia mendampingi Paul di saat-saat terakhirnya.

Pernah saya begitu egois karena berpikir sayalah orang paling terluka atas kematian Paul. Tetapi, saya kemudian mengoreksinya dan menyadari bahwa sesungguhnya, tidak ada yang lebih terluka hatinya selain seorang Ibu bernama Martha itu. Tanpa mengingat bahwa dia sendiri harus makan dan minum, tak sedetikpun dia mau meninggalkan anaknya. Dialah satu-satunya pribadi yang sedari awal mendampingi Paul hingga layar monitor menunjukkan garis lurus, yang berarti, dia menyaksikan masa-masa paling genting saat itu.

Pertanyaan saya: bagaimana perasaan seorang ibu ketika menyaksikan anak yang begitu dikasihinya harus menghadapi kematian di depan matanya sendiri? Pada kenyataannya, kecelakaan membuat seperempat tengkorak Paul harus di angkat ketika operasi, sehingga Martha tak mampu membayangkan betapa besar kesakitan yang harus ditanggung anaknya.
Seperti Maria yang berharap untuk dapat menanggung penderitaan Kristus (bahkan hendak mati bersama-Nya), mungkin demikian jugalah yang sempat terbesit di benak Martha ketika mendampingi Paul. Di saat-saat paling genting itu, hatinya berkecamuk, perasaannya tak tergambarkan (seperti jawaban yang saya dapatkan setelah bertanya langsung padanya), dan ia seperti kehilangan nyawanya sendiri.

Di sana, saya memahami bahwa di dunia ini, sungguh tak ada yang dapat menandingi perasaan seorang ibu. Sama seperti Maria yang hatinya hancur berkeping-keping ketika menyaksikan kematian Kristus, demikianlah Martha ketika menyaksikan kematian Paul. Kedua ibu itu pecah dalam tangis, kedua ibu itu berduka, kedua ibu itu berkabung. Namun, dalam masa perkabungan itu pulalah, kedua ibu itu terhibur di dalam iman pengarapan kepada Allah: Kematian Kristus memberi kehidupan yang baru bagi umat percaya; kematian Paul adalah awal kehidupan yang baru di dalam perjumpaannya dengan Sang Pemilik Kehidupan. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, sebab iman menuntun orang percaya untuk mengaminkan: kematian adalah keuntungan di dalam Kristus yang telah mati dan bangkit itu.

Dengan demikian, saya memaknai Jumat Agung kali ini dengan menyelipkan penghayatan iman atas kematian Paul; saya memaknai Jumat Agung kali ini dengan tetap berterima kasih kepada Maria, Ibu Yesus, yang telah begitu berbesar hati merelakan anak-Nya untuk mati di tiang salib; saya memaknai Jumat Agung kali ini dengan berterima kasih kepada seorang Ibu bernama Martha, yang telah memberi teladan iman kepada anak-anaknya, sekalipun dia sendiri harus terseok-seok melewati masa perkabungan yang berat ini.
 
Selamat memperingati Jumat Agung!

Höver, 25 Maret 2016 (10.18 am)

No comments:

Post a Comment