Friday, 25 March 2016

(kali ini) Memaknai Jumat Agung dari Perspektif Maria dan Martha; 40 Hari Kematian Paul



2 tahun terakhir saya berusaha memaknai Jumat Agung dari perspektif Sang Ibu, Maria, yang telah berbesar hati merelakan daging dari dagingnya untuk disesah lalu digantung dan mati di kayu salib. Tentu saja pemaknaan melalui sudut pandang Maria saya lakukan tanpa mengesampingkan makna terdalam dari kematian Kristus: pengorbanan yang menyelamatkan dunia.   

Pengorbanan Kristus di kayu salib begitu mahal harganya, sehingga tak tepat bila peringatan akan kematian-Nya berlalu tanpa komitmen untuk terus membaharui hidup. Kematian Kristus adalah inspirasi untuk kehidupan yang telah dimerdekakan, karena itu hidup perlu diisi dengan kebaikan yang menginspirasi dan memerdekakan sesama.

Lalu, apa pentingnya melihat dari sudut pandang Sang Ibu? Maria adalah Ibu kandung Yesus. Sebagai Ibu kandung-Nya, dia adalah satu-satunya perempuan yang telah merawat, membesarkan serta menjadi saksi atas pertumbuhan Sang Anak. Dia adalah satu-satunya perempuan yang selalu was-was tatkala Yesus kecil berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya, tetapi dia jugalah yang sedari awal telah memahami beban mulia yang kelak akan ditanggung oleh Sang Anak.

Meskipun demikian, sebagai seorang Ibu kandung, tentu saja ada bagian dari diri Maria yang tak mampu menyaksikan buah hati-Nya tersiksa. Toh, kita semua tahu bahwa di dunia ini, tidak ada satu ibupun yang rela melihat anaknya menderita. Oleh karena itu, dengan melihat Yang Dikasihi berjalan menuju kematian demi keselamatan umat manusia, tak tepat bila perasaan Maria terabaikan.
Di hari Jumat Agung tahun ini, bertepatan sekali saya dan keluarga besar saya juga memperingati hari ke-40 kematian kakak saya, Paul. Terus terang, Jumat Agung kali ini nano-nano rasanya. Tetapi, sebagaimana judul yang saya berikan di atas, sebagaimana Maria telah berjuang melewati pergolakan batinnya ketika menyaksikan Kristus menghadapi kematian, maka demikianlah saya mencoba merefleksikan perasaan seorang ibu bernama Martha tatkala ia mendampingi Paul di saat-saat terakhirnya.

Pernah saya begitu egois karena berpikir sayalah orang paling terluka atas kematian Paul. Tetapi, saya kemudian mengoreksinya dan menyadari bahwa sesungguhnya, tidak ada yang lebih terluka hatinya selain seorang Ibu bernama Martha itu. Tanpa mengingat bahwa dia sendiri harus makan dan minum, tak sedetikpun dia mau meninggalkan anaknya. Dialah satu-satunya pribadi yang sedari awal mendampingi Paul hingga layar monitor menunjukkan garis lurus, yang berarti, dia menyaksikan masa-masa paling genting saat itu.

Pertanyaan saya: bagaimana perasaan seorang ibu ketika menyaksikan anak yang begitu dikasihinya harus menghadapi kematian di depan matanya sendiri? Pada kenyataannya, kecelakaan membuat seperempat tengkorak Paul harus di angkat ketika operasi, sehingga Martha tak mampu membayangkan betapa besar kesakitan yang harus ditanggung anaknya.
Seperti Maria yang berharap untuk dapat menanggung penderitaan Kristus (bahkan hendak mati bersama-Nya), mungkin demikian jugalah yang sempat terbesit di benak Martha ketika mendampingi Paul. Di saat-saat paling genting itu, hatinya berkecamuk, perasaannya tak tergambarkan (seperti jawaban yang saya dapatkan setelah bertanya langsung padanya), dan ia seperti kehilangan nyawanya sendiri.

Di sana, saya memahami bahwa di dunia ini, sungguh tak ada yang dapat menandingi perasaan seorang ibu. Sama seperti Maria yang hatinya hancur berkeping-keping ketika menyaksikan kematian Kristus, demikianlah Martha ketika menyaksikan kematian Paul. Kedua ibu itu pecah dalam tangis, kedua ibu itu berduka, kedua ibu itu berkabung. Namun, dalam masa perkabungan itu pulalah, kedua ibu itu terhibur di dalam iman pengarapan kepada Allah: Kematian Kristus memberi kehidupan yang baru bagi umat percaya; kematian Paul adalah awal kehidupan yang baru di dalam perjumpaannya dengan Sang Pemilik Kehidupan. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, sebab iman menuntun orang percaya untuk mengaminkan: kematian adalah keuntungan di dalam Kristus yang telah mati dan bangkit itu.

Dengan demikian, saya memaknai Jumat Agung kali ini dengan menyelipkan penghayatan iman atas kematian Paul; saya memaknai Jumat Agung kali ini dengan tetap berterima kasih kepada Maria, Ibu Yesus, yang telah begitu berbesar hati merelakan anak-Nya untuk mati di tiang salib; saya memaknai Jumat Agung kali ini dengan berterima kasih kepada seorang Ibu bernama Martha, yang telah memberi teladan iman kepada anak-anaknya, sekalipun dia sendiri harus terseok-seok melewati masa perkabungan yang berat ini.
 
Selamat memperingati Jumat Agung!

Höver, 25 Maret 2016 (10.18 am)

Tuesday, 22 March 2016

Tentang Paul dan Adik Perempuannya


Mereka hanya berselang satu tahun; Paul lahir pada tanggal 26 Juni 1987, sedangkan adiknya menyusul pada tanggal 15 Agustus 1988. Dari segi umur, mereka pada dasarnya sebaya, itulah sebabnya, oleh kedua orang tua, mereka didaftarkan pada tahun yang sama di TK (TK Kristen Palopo), lalu kemudian di SD yang sama, SDN 84 Salolo.
Sebenarnya, sang adik masih harus tinggal setahun di TK sebab usianya belum cukup untuk didaftarkan ke SD pada waktu itu. Namun, sang adik bersikeras bahwa ia tak ingin tinggal sendirian di TK; ia ingin mengikut ke mana kakaknya pergi; jadilah pada akhirnya mereka berdua didaftarkan di SD. 

Sebagai 2 anggota keluarga terkecil, Paul bersama sang adik selalu mengekor ke mana saja kedua orang tua bepergian; sebagai 2 anggota keluarga terkecil –dan sebaya-, keduanya seringkali diperlakukan seperti kembar: selalu dibelikan barang yang serupa, hanya berbeda warna; sebagai dua anggota keluarga terkecil, keduanya disayangi oleh semua kakak-kakak.

Benar, di rumah, Paul tidak jarang bertengkar dengan sang adik. Namun, rasanya itu normal sekali, sebab anak-anak selalu saja punya alasan untuk saling berebut, atau mungkin sering juga ditengarai oleh rasa cemburu. Akan tetapi, selama 6 tahun menjalani pendidikan di SD, Paul selalu membuktikan bahwa ia adalah kakak yang mampu melindungi sang adik. Paul tak pernah membiarkan adiknya disakiti oleh siapapun. Setiap kali sang adik menangis, Paul selalu bertanya: “kenapa ko dek?,” lalu memastikan bahwa ia memberi ‘pelajaran’ kepada siapa saja yang telah membuat adiknya menangis.

Dalam dunia pendidikan, Paul dan sang adik pada akhirnya mulai berpisah ketika memasuki jenjang lanjutan, SMP: Paul diterima di SMP Frater Palopo, sementara sang adik diterima di SMPN 1 Palopo. Sejak saat itu, mereka tak pernah lagi pergi ke sekolah yang sama, mengingat di tingkat selanjutnya, SMA, mereka lagi-lagi tidak bersama: Paul tetap lanjut di SMU Frater Palopo, dan sang adik bahkan meninggalkan Kota Palopo untuk menempuh studinya di SMU Kr. Barana’, Tana Toraja.

Sejak bersekolah di kota yang berbeda, Paul dan sang adik memang tidak lagi memiliki banyak waktu bersama. Keduanya bertumbuh dan memiliki kesibukan masing-masing, dan tentu saja, setelah melalui masa studi di SMU, mereka berdua harus mempersiapkan diri untuk jenjang studi yang lebih tinggi. Pada akhirnya, mereka bertemu hanya ketika hari libur dan semua berkumpul di rumah: Paul masih seperti dulu. Ia adalah seorang yang memiliki selera humor yang sangat tinggi, sehingga mudah sekali tertawa dan mudah sekali membuat orang lain tertawa terbahak-bahak.

Dalam pertengahan masa studinya di bangku perkuliahan, sebagai seseorang yang memang terkenal kreatif semasa SD (pernah mendapatkan juara 1 untuk tulisan indah dan juga jago menggambar), ia akhirnya memutar arah. Paul mengikuti kursus modifikasi motor dan selalu bereksperimen pada motornya sendiri kala itu, dan akhirnya, memutuskan untuk berhenti kuliah lalu kembali ke Palopo dan memulai usaha kecil-kecilannya.
Seiring waktu berlalu, tak terasa 8 tahun terakhir ia terus bergelut dengan dunia modifikasi motor dan mobil, dan usaha itu jugalah yang pada akhirnya membuat ia begitu dikenal oleh banyak orang di kota kelahirannya. Ia pandai bergaul, pandai membangun relasi yang baik dengan orang lain dan dikenal ramah. Dan, seperti yang sudah disebut di atas, ia sosok yang sangat humoris. Mungkin, itu jugalah alasan mengapa banyak yang merasa begitu kehilangan selain keluarga intinya.

Satu hari setelah pemakamannya, seorang teman Paul menjumpai sang adik lalu berkata: Setiap kali Paul bertemu pengemis di emper-emper toko, Paul selalu mengeluarkan uang dari sakunya dan menyuruh pengemis-pengemis itu bangun dan pergi membeli makanan; sebelum ia dimakamkan, beberapa orang datang menangisinya dan mengaku bahwa Paul seringkali ke rumah mereka, memberi uang kepada anak-anak mereka (perilaku Paul yang tidak benar-benar diketahui oleh keluarga).

Kenyataan pada hari Paul dimakamkan membuat sang adik mengingat satu sosok yang pernah begitu dicintai oleh dunia, yang pemakamannya disaksikan oleh jutaan mata di dunia: Putri Diana. Semua orang menangisinya dan merasa begitu kehilangan, sebab mendiang Putri telah menabur cinta kemanapun ia pergi semasa hidupnya. Memang, pemakaman Paul tidak dihadiri oleh jutaan jiwa (mungkin ribuan), tetapi pemandangan yang tercipta hari itu sangat membesarkan hati keluarga, sebab keluarga melihat cinta dan kasih sayang para sahabat ketika mengantarkan jenazah menuju tempat peristirahatan terakhirnya; membuat keluarga menyadari, bagaimana kau diperlakukan ketika kau mati, seperti itulah yang telah kau tabur ketika kau hidup. Di sana, di hari kematianmu itulah, orang akan melihat dan mengerti apa yang telah kau buat semasa hidupmu.

Lebih dari itu, di balik semua kisah tentang relasinya dengan orang lain, Paul juga menyimpan kisah yang manis dengan adik perempuannya –yang adalah juga adiknya satu-satunya. Sebagaimana ia menjadi “pelindung” bagi adiknya semasa kecil, ia tetap pada peran yang sama hingga akhir hidupnya. Sekalipun sudah lama tak menghabiskan waktu bersama, Paul tak pernah gagal menjadi sosok kakak yang baik. Dengan kerja kerasnya, ia salah satu orang yang berperan besar dalam menopang adiknya ketika menjalani studi S1. Ia banyak memenuhi kebutuhan adiknya, sebab baginya, adiknya adalah “semangatnya”. Ia tak pernah membiarkan adiknya kesulitan. Ia selalu harus memastikan bahwa adiknya aman, seperti yang selalu dilakukannya semasa kecil dulu. Ia tak pernah membolehkan adiknya cemas, tak pernah mengizinkan adiknya khawatir. Pesan terpentingnya setiap kali mengirim SMS kepada adiknya adalah: “Jangan khawatirkan apapun. Kuliah saja baik-baik dan jadi orang sukses, cuma itu permintaanku."

Sang adik tahu bahwa semua kakak di dunia ini pasti mengasihi adik-adik mereka, namun, sang adik juga tahu bahwa tidak semua kakak di dunia ini se-ekspresif Paul. Bercerita kepada teman-temannya betapa ia menyayangi adiknya adalah salah satu kegemarannya. Ia senang sekali mengumumkan bahwa ia begitu mengasihi adiknya, dan bahwa ia akan selalu berusaha memenuhi apapun permintaan adiknya. Ia tidak mau membuat adiknya sedih, tidak mau membuat adiknya kecewa, tidak mau membuat adiknya marah.  Lebih dari itu, yang membuat sang adik merasa sangat istimewa adalah, oleh karena Paul hanya memiliki satu adik, maka kasih sayang yang diterima oleh adiknya adalah kasih sayang yang utuh, kasih sayang yang tidak terbagi-bagi kepada adik lain manapun. Sang adik merasa menjadi adik yang paling beruntung di dunia, sebab ia memiliki kakak seperti Paul, kakak yang tahu bagaimana cara mencintai dan mengasihi adiknya, kakak yang bahkan menjadikan adiknya sebagai “semangat” dalam menggeluti pekerjaannya.

Jelaslah, kepergian Paul menjadi pukulan yang sangat besar di jiwa sang adik. Selamanya, sang adik tak akan pernah lagi dapat melihat sosok kakak yang begitu mencintainya di dalam dunia nyatanya. Menyakitkan sekali, terlebih karena Paul pergi setelah terakhir kali sang adik melihatnya pada tanggal 6 September 2015 yang lalu, setelah sang adik melakukan penelitian di Indonesia.

Saat ini, sang adik tengah merampungkan tulisan untuk penyelesaian studinya, dan bertepatan sekali sang adik menulis tentang ritual kematian “Rambu Solo’” yang banyak sekali berbicara tentang kematian; perasaan dan kebutuhan keluarga pada saat berduka. Beberapa waktu yang lalu, ada banyak pertanyaan yang masih menjadi teka-teki di kepala sang adik. Mungkin, jawaban-jawaban yang sempat muncul hanyalah dugaan semata, sebab ternyata, ketika mengalami langsung duka yang begitu mendalam, mata sang adik terbuka untuk mengerti mengapa pada saat berduka, keluarga berbuat seperti ini dan itu; mengapa ada kerinduan untuk melakukan ini dan itu.

Lalu, sang adik berpikir: semasa hidupnya, Paul selalu mengutamakan kepentingan adiknya. Ia banyak berkorban tanpa tahu bagaimana harus merawat dirinya sendiri. Mungkinkah, menjelang akhir studi sang adik, kematian Paul adalah bentuk pengorbanannya yang terakhir untuk menolong sang adik memecahkan pertanyaan-pertanyaan di dalam tesisnya? Mungkinkah, Paul pernah berkata kepada dirinya sendiri: “Sekalipun harus mati, jika itu dapat menolong adik yang begitu ku kasihi untuk mencapai kesuksesannya, mengapa tidak?” Pada akhirnya, sang adik berkesimpulan: Paul hidup di dunia ini untuk beberapa tugas khusus, yakni menghibur dan menyenangkan orang-orang di sekitarnya, dan tugas utamanya adalah, menjadi pelindung bagi adik semata wayangnya.

Sampai hari ini, 37 hari setelah kematiannya, sang adik masih sangat terluka. Sang adik berharap dapat kembali melanjutkan perjuangan dari puing-puing semangat yang berusaha ia kumpulkan melalui aliran doa dan penghiburan dari para sahabat, namun entah, rasanya sulit sekali. Sang adik berpikir, mudah saja mengabaikan rasa duka ini, yakni dengan berusaha melupakan bahwa Paul pernah ada. Tetapi, itu adalah hal yang sangat tidak mungkin, bahkan tidak layak. Seorang pengasih seperti Paul tidak pantas dilupakan, sampai kapanpun. 

Entah sampai kapan.. Entah sampai kapan Paul, adikmu akan terus mengenangmu di dalam rindu dan tangis. Setiap kali mengingatmu, sang adik seperti kehilangan jiwanya sendiri. Semangatnya memudar, air matanya tak berhenti menetes setiap kali menyebutmu di dalam doa-doanya, dan kepalanya masih dihujani begitu banyak pertanyaan. Namun, sesekali juga adikmu tersadar: kerentanan, kesedihan dan masa-masa sulit, mereka semua adalah juga tempat lahirnya semangat baru. Dari sanalah muncul inspirasi dan kreativitas untuk kembali berkarya, sembari mengingat perjuangan dan pesanmu: “Jangan pernah khawatirkan apapun. Yang penting kau dapat menyelesaikan kuliah sebaik-baiknya dan menjadi orang sukses, cuma itu permintaanku.”

Hannover, 22 Maret 2016 (3.12am)


 Won't ever forget the way you've loved her this much










Di sana, di hari kematianmu itulah, orang akan melihat dan mengerti apa yang telah kau buat semasa hidupmu...




























 
Till we meet again, Paul Sayang... 

 P.S. Foto ini terus disimpan Paul di HPnya sekalipun ia sudah menggunakan HP yang baru beberapa waktu terakhir (foto ini dikirim pada akhir tahun 2014 ketika sang adik baru memulai studinya di Jerman, lantas Paul selalu merindukannya). 
Seperti kata Paul di salah satu pesannya (di atas): Rajin-rajinlah mengirim fotomu yang terbaru (dek). 


 

Friday, 1 May 2015

Keadilan? Bercermin dari kisah Mary Jane Veloso

8.43
Sarstedt, North Germany 
(dalam perjalanan menuju Göttingen. Tidak ada yg lebih menyenangkan daripada membaca ataupun menulis di dalam kereta api demi membunuh sang waktu).

Sama seperti minggu lalu, kali ini saya ke Göttingen dengan tidak membawa laptop (terlalu berat di tas dan saya tidak ingin membawa banyak barang walau harus menginap semalam). Ya, seperti inilah situasi Summer Term. 2 hari dalam seminggu kami akan berada di kampus 1, Göttingen University, dan sisany di kampus 2, FIT Hermannsburg. Tidak begitu mengenakkan karena sangat melelahkan, namun demikian tetap harus mampu menyemangati diri sendiri, berjuang dan  membiasakan diri untuk menikmati segala sesuatu yang harus dijalani. Hanya dengan cara ini saya akan mampu untuk tidak mengeluh.

Baiklah, sebelum semuanya menghilang dari kepala saya, lebih baik saya menuliskannya sesegera mungkin. Dan, karena tidak membawa laptop, maka saya menuangkannya di tab. Ide yang cukup baik bukan?

Tadi di dalam taxi menuju stasiun kereta, seorang teman asal Etiopia bertanya kepada saya: "Elim, what's happening in Indonesia?"
Spontan saya menjawab: "Oh, you mean the execution?" Belum sempat melanjutkan, teman-teman yang lain sudah pada berkomentar: "Ah, it's not good... In Nigeria, bla bla bla."
Well, teman-teman berkomentar dengan sangat bersahabat, namun, sebagai orang Indonesia saya rasanya seperti dihakimi di dalam taxi. Hehehe.. Mengapa jawaban saya spontan mengenai perihal eksekusi? Beberapa hari terakhir, bermunculan di media sosial berita tentang Mary Jane Veloso (selanjutnya MJV), buruh migran asal Filipina yang terlibat sindikat perdagangan narkotika di Indonesia. Kalau tidak salah, berita pertama yang saya baca tentang MJV adalah dari German News yang kemudian saya share di akun twitter saya dengan komentar: "somehow, ga enak juga baca berita dari Indo tentang eksekusi." 

Di hari yang sama, ketika saya mengecek Facebook, ternyata di timeline saya berita tersebut sudah sangat ramai dibicarakan; saya juga menerima email dari Change.org yang isinya memuat petisi atas kasus MJV. Petisi ini digagas oleh  seseorang yang bernama Ruli Manurung, yang menuntut keadilan sebab MJV, berdasarkan informasi, hanyalah korban; korban human trafficking, korban sindikat perdagangan narkotika  yang terpaksa  harus membawa "barang-barang haram" tersebut dalam perjalanannya ke Indonesia. Oleh sebab hukum di Indonesia sangat tegas (?) mengenai penjualan, peredaran dan penggunaan narkoba, maka MJV harus terlibat hukum dan menemui nasibnya di meja hijau, dimana dia ditetapkan harus dihukum mati. 
Sebagai seseorang yang tidak mengerti bahasa Indonesia (meskipun bahasa Tagalog masih serumpun dengan bahasa Indonesia dari keluarga Astronesia, namun tetap saja tidak akan memadai) dan bahasa Inggrisnya disebut terbata-bata (bahkan mungkin pengetahuan bahasa Inggrisnya sangat minim alias tidak bisa merangkai kalimat), tentu saja MJV sangat-sangat terbatas dalam memberikan keterangan dan kesaksiannya.

Tidak ingin  menggeneralisasi, maka saya mencoba membaca beberapa berita yang beredar tentang MJV. Dengan posisi saya yang pernah melakukan penelitian tentang Women Migrant Workers (atau yang di Indonesia lebih populer dengan sebutan Tenaga Kerja Wanita alias TKW) di Hong Kong, hal semacam ini tentu turut menarik perhatian saya. Dengan "membaca" banyak informasi tentang mereka, setidaknya saya telah memiliki gambaran sesulit dan serumit apa situasi para TKW secara umum. Seseorang yang berpendidikan tinggi tidak akan memilih untuk menjadi TKW meski akan dilabeli gelar "Pahlawan Devisa Negara," dan dengan demikian, jelaslah bahwa yang memutuskan untuk menjadi TKW adalah mereka dengan tingkat pendidikan standar (SMA) atau di bawah rata-rata (SD dan bahkan yang tidak pernah bersekolah). Faktor ini cukup menentukan perlakuan yang mereka peroleh, sebab kurangny wawasan, keterbatasan untuk berargumen dan kerinduan untuk bekerja membuat mereka seringkali pasrah terhadap keadaan: apapun kata agen penyalur, mereka akan manut alias nurut sebab sudah terlanjur terjun, ingin pulang namun bingung + takut. Dalam situasi seperti ini, tidak sedikit TKW yang mengalami penipuan dan tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya adalah korban-korban Human Trafficking. Ya, mereka dijual. Dijual oleh orang-orang dari Tanah Airnya sendiri kepada agen-agen di Negara tujuan. Sebuah sistem lintas Negara yang tidak terlihat namun terorganisir dengan sangat baik, yang oleh Iko Takam Mekeng dalam novelnya yang berjudul "Riwayat Perjalanan Maria, Charlotte dan Emily" disebut dengan istilah: The Invisible Hands.

Pemahaman tentang situasi umum para TKW pada akhirnya memberi saya bayangan tentang kisah MJV, buruh migran asal Filipina tersebut. Saya tidak tahu apakah oleh para aparat penegak hukum di Indonesia, hal-hal penting di atas -yang sangat tidak bisa diabaikan- sudah ditelusuri untuk benar-benar memahami posisi MJV lalu kemudian memutuskan hukuman mati atasnya. 4 hari lalu ketika saya menandatangani petisi yang memohon adanya "keadilan" bagi MJV, kembali saya menyebarkannya melalui akun-akun media sosial saya. Ternyata, saya mendapat respon dari seorang teman: 


Teman: Km ga setuju hukuman mati?
Saya: Enggak sama sekali.
Teman: Hahah, kmn aja km wkt TKI kita dihukum mati? Kamu ga protes ke US? Mrk masih nerapin hukuman mati lho. Jgn terbuai cerita sinetron MJ, tp efek dari apa yg udah dilakuin itu.
Saya: $%^&*()_+" (terus terang membaca respon tersebut membuat perasaan saya bercampur-campur: marah, kesal, jengkel, sedih dan merasa bingung juga: maksudnya apa ya? Yang terbuai cerita sinetron MJV siapa? Kmn aja waktu TKI kita dihukum mati? Ga protes ke US? 


Saya kemudian membatin: lancang juga ya seseorang mengatai "jangan terbuai sinetron" tanpa memahami landasan berpikir saya. Di pesan-pesan berikutnya malah rasanya lebih keterlaluan lagi: "jangan sok humanis kalau tidak pernah merasakan situasi itu secara langsung/ tidak pernah berada dalam situasi lingkungan mereka." Jujur saja, saya rasanya hampir meledak. Sangat marah dan sekaligus prihatin karena tanpa benar-benar memahami posisi dan arah berpikir seseorang, bagaimana mungkin seseorang yang lain berani mengatai? Di dalam benak saya bahkan sama sekali tidak terlintas bahwa saya hendak menjadi seseorang yang sok humanis -sebab saya merasa perasaan ini mengalir begitu saja alias alami, dan saya sangat sering terganggu dengan persoalan-persoalan kemanusiaan dan ketidakadilan. Saya juga tidak dalam rangka membela MJV, katakanlah jika se-agama, dan tidak juga mau mempersoalkan Negara mana yang memberlakukan hukuman mati. Bagi saya, ini berlaku bagi semua Negara, dan karena kebetulan persoalan MJV terjadi di Indonesia -dengan berbagai ketimpangan dalam sistem hukum yang diterapkan- maka saya mengutarakan pemikiran saya. 


Beberapa menit setelahnya saya merasa bahwa mungkin akan lebih baik untuk tidak merespon lagi pesan-pesan dari teman tersebut, karena saya mendapati dia begitu sulit memahami maksud saya. Dan, ya, seperti inilah realita kita: hampir semua penilaian kita terhadap sesuatu/seseorang hanya sebatas di permukaan atau di kulit paling luar saja. Oleh karena itu, dari pesan-pesan tersebut saya belajar betapa maha pentingnya memahami sesuatu dengan sebaik-baiknya; betapa maha pentingnya memahami posisi seseorang; betapa maha pentingnya mengetahui aspek-aspek lain di sekitar yang mengakibatkan sesuatu terjadi. Kurangnya pemahaman terhadap sesuatu/seseorang tentu akan berakibat pada tudingan seperti tersebut di atas dan tidak ada objektivitas dalam menilai.

Prinsip semacam ini jugalah yang sangat perlu untuk diterapkan pada berbagai kasus yang terjadi, terutama dalam kasus MJV saat ini. Mengapa di dalam petisi dari Sdr. Ruli Manurung tersebut, yang dituntut adalah keadilan bagi MJV? Sebenarnya apa keadilan itu? Bagaimana suatu sikap/keputusan bisa dikatakan adil?

Saya pernah berpikir: ketika seseorang memukul saya dan saya balas memukul, maka itulah keadilan. Tapi jika saya memilih bersabar dan tidak membalas, maka itulah pengampunan: memiliki peluang membalas tetapi tidak menggunakannya. Tentu saja pengertian saya ini sangat berakar pada ajaran pokok dalam iman Kristen tentang Kasih yang menuntun pada sikap mengampuni. Sekarang yang menjadi persoalan, ajaran pokok iman Kristen tidak bisa begitu saja diberlakukan ketika kita berada pada tataran hukum. Negara kita adalah Negara hukum, maka harus adil dalam berbagai putusannya. Jika demikian, maka seperti apa keadilan bagi MJV? Bagi saya, keadilan bagi MJV ialah berusaha meneropong siapa yang telah "memukul" MJV; menelusuri sedalam-dalamnya mengapa MJV sampai ke Indonesia, dan yang lebih penting, memahami dengan baik situasi riil para buruh migran (betapa sering dan betapa rentannya mereka untuk dimanfaatkan, ditipu dan bahkan diperdagangkan). Dengan menelusuri dan memahami dengan benar, jika terbukti bukan sesuatu yang disengaja; terbukti bahwa MJV hanyalah korban, maka keadilan baginya adalah dengan membebaskan dan mengembalikan MJV kepada keluarga dan Tanah Airnya. Jika terbukti salah, maka seperti apakah yang adil itu menurut teman-teman?

Tentu saja saya sendiri tidak sepakat dengan maraknya peredaran narkoba yang sangat merusak generasi bangsa. Jadi, prinsip umum yang tentu berlaku di Negara hukum adalah: singkirkan satu yang merusak demi menyelamatkan jutaan lainnya. Namun, apakah menyingkirkan itu = mengukum mati para pelaku? Inikah adil bagi yang terbukti bersalah? Jika adil bagi yang tidak bersalah = dibebaskan, maka tidak dapatkah adil bagi yang bersalah = dihukum selama mungkin tanpa harus menghilangkan nyawa mereka?

Alasan saya tidak membenarkan hukuman mati (terutama pada kasus narkoba) adalah:
1. Saya percaya tidak seorangpun berhak menghilangkan nyawa orang lain.
2. Jika dengan memberlakukan hukuman mati, peredaran, penjualan dan penggunaan narkoba bisa berhenti, maka saya akan setuju. Faktanya, semakin merajalela.
3. Para pelaku yang terlibat kasus narkoba sebenarnya bisa diberi hukuman, seperti: hukuman penjara (misalnya 20-30 tahun). Mendengar putusan seperti itu, apakah seseorang tidak depresi? Hopeless kan tentunya? Sisa hidup harus dihabiskan di penjara.. Sangat menyedihkan! Dengan memberi kesempatan seperti ini, maka mereka diberi kesempatan untuk belajar dari kesalahan (saya tidak sedang berbicara tentang prinsip Pengampunan di sini). Klise mungkin, tapi tidak bagi saya. Tujuannya adalah untuk menuntun mereka menemukan kembali kemuliaannya sebagai manusia yang berakhlak, dan selama masa hukuman mereka dibina atau direhabilitasi. Maka, tidak adilkah model seperti ini? Ini juga "pukulan" yang sebenarnya mematikan. Mematikan semua yang jahat di dalam diri seseorang.

*Kritik dan poin-poin pendukung (penegas?)
1. Kata Rm. Magnis Suseno, sistem yudisial kita belum bersih dari praktik korup. Masa kita bersedia membunuh orang atas keputusan lembaga-lembaga yang tidak dapat dipastikan kejujurannya?
2. Tadinya saya berpikir bahwa hukuman mati bisa memberi efek jera kepada para pelaku kejahatan, namun nyatanya semakin sering kita mendengar kabar tentang adanya hukuman mati (lagi) karena kasus pelaku pengedar dan pengguna narkoba yang baru. Jadi, hukuman mati untuk apa? Begitu pertanyaanku pada teman yang sempat menudingku, lalu jawabnya -terkait poin 3 di atas- jika hanya dipenjara, di dalam penjara pun mereka tidak bisa berhenti. Maka pertanyaan saya selanjutnya: Bagaimana bisa dari dalam sel para tahanan masih bisa beraksi? Aparat hukum kebobolan, atau justru mereka dengan permainan cantiknya yang membukakan jalan?
Jawaban teman: Jaringan mereka luas dan mereka memiliki banyak uang. Dengan sangat mudah mereka bisa menjalin kerja sama dengan para sipir. *BLEPPPP! Saya langsung balas: maka kamu sudah mementahkan semuanya. Sangat tidak pantas ada hukuman mati jika jelas-jelas para penegak hukum sendiri bermain-main dengan hukum alias tidak tegas. Memalukan itu namanya. Bukan hanya memalukan, itu dosa. Jelas-jelas dosa! *ini tanya-jawab di awal-awal diskusi sebelum saya hampir meledak (yang sudah saya sebutkan sebelumnya).
3. Jika saja para aparat hukum kita mampu bersikap tegas dan benar-benar mengawasi situasi para tahanan, maka seharusnya tidak ada lagi peluang untuk beraksi dari balik jeruji besi. Jika ini terwujud, maka bersama aparat keamanan kita telah berusaha untuk menuntun para pelaku kejahatan kembali kepada kemuliannya.

Terkait MJV, berita terbaru yang saya baca kemarin ialah, perekrut MJV telah menyerahkan diri kepada kepolisian Filipina dan mengaku bahwa dialah yang berperan di balik kasus yang menimpa MJV (http://www.rappler.com/world/regions/asia-pacific/indonesia/91404-perekrut-mary-jane-maria-kristina). Lalu, sekarang terjadi terjadi penundaan eksekusi terhadap MJV atas permohonan Presiden Filipina yang meminta kesempatan untuk meninjau dan menelusuri kembali kasus MJV di Filipina. Saya rasa, petisi dari semua teman-teman juga telah turut berkontribusi atas penundaan eksekusi tersebut. Di satu sisi saya lega. Artinya, sedang ada upaya untuk mewujudkan keadilan. Namun di sisi yang lain, saya sepakat (dan ini mempertegas poin-poin di atas) dengan pandangan Anggara dari Peneliti Lembaga kajian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), yang menyatakan bahwa penundaan pelaksanaan hukuman mati terhadap MJV adalah bukti lemahnya hukum di Indonesia. Menurutnya, kasus yang terjadi pada MJV menunjukkan secara spesifik bahwa peradilan pidana Indonesia tidak layak menerapkan hukuman mati, sebab selama masa peradilan MJV tidak mendapatkan bantuan hukum yang memadai: tidak mendapatkan penerjemah dan posisinya sebagai buruh migran Filipina tidak dipertimbangkan (http://www.antaranews.com/berita/493528/menurut-icjr-mary-jane-bukti-lemahnya-hukum-indonesia?utm_source=related_news&utm_medium=related&utm_campaign=news). Selain itu, adanya faktor kerjasama terstruktur antara para pelaku kejahatan dan para penegak hukum -seperti yang sudah disinggung sebelumnya- sudah sangat mempertegas betapa tidak pantasnya pemberlakuan hukuman mati. Sebagaimana para agen penyalur para TKW bekerja di dalam sistem Invisible Handsnya, maka demikian jugalah di dalam beberapa kasus para terpidana dan para penegak hukum.
Kini hukuman mati seolah menjadi ajang coba-coba yang bisa ditinjau kembali keputusannya ketika ada seseorang yang tiba-tiba mengaku sebagai saksi ataupun dalang. Saya bertanya-tanya: tidak malukah mereka yang dengan yakin menjatuhkan hukuman mati -yang berarti hasil akhir dari penyelidikan sudah membuktikan bahwa terdakwa pantas dihukum mati- lalu kemudian menundanya kembali? Mereka ternyata terlalu terburu-buru memutuskan (dan kemungkinan besar ini juga sudah terjadi pada ratusan terpidana mati lainnya, namun mereka kurang beruntung karena tidak ada peninjauan kembali atas perkara mereka sebelum benar-benar dibunuh).

Barulah beberapa jam terakhir ini saya kemudian berpikir: bagaimana jika kasusnya adalah mengenai para pelaku teror bom? Baiklah.. Sekarang saya sampai pada posisi berpikir bahwa untuk memutuskan yang adil itupun, segala sesuatu harus ditinjau perkasus. Tidak ada kasus yang persis sama, maka keadilan akan tergantung pada kasus setiap orang. Jika harus kembali mengenang peristiwa bom bali atau peristiwa teror bom lainnya; fakta ISIS dan kasus-kasus biadab lainnya, maka, secara spontan mungkin saya harus menjawab: hukum mati saja!
Tapi, bagaimana dengan mereka yang harus menjatuhkan hukuman mati? Dapatkah mereka dipercaya? Dan bagaimana juga dengan persoalan kemuliaan para pelaku kejahatan?
Ohh.. Semoga setelah ini Sang Maha akan menuntun saya untuk menemukan jawabannya.