Mereka hanya berselang satu tahun; Paul lahir pada tanggal 26
Juni 1987, sedangkan adiknya menyusul pada tanggal 15 Agustus 1988. Dari segi
umur, mereka pada dasarnya sebaya, itulah sebabnya, oleh kedua orang tua, mereka
didaftarkan pada tahun yang sama di TK (TK Kristen Palopo), lalu kemudian di SD
yang sama, SDN 84 Salolo.
Sebenarnya, sang adik masih harus tinggal setahun di TK sebab
usianya belum cukup untuk didaftarkan ke SD pada waktu itu. Namun, sang adik
bersikeras bahwa ia tak ingin tinggal sendirian di TK; ia ingin mengikut ke
mana kakaknya pergi; jadilah pada akhirnya mereka berdua didaftarkan di SD.
Sebagai 2 anggota keluarga terkecil, Paul bersama sang adik
selalu mengekor ke mana saja kedua orang tua bepergian; sebagai 2 anggota
keluarga terkecil –dan sebaya-, keduanya seringkali diperlakukan seperti
kembar: selalu dibelikan barang yang serupa, hanya berbeda warna; sebagai dua
anggota keluarga terkecil, keduanya disayangi oleh semua kakak-kakak.
Benar, di rumah, Paul tidak jarang bertengkar dengan sang
adik. Namun, rasanya itu normal sekali, sebab anak-anak selalu saja punya
alasan untuk saling berebut, atau mungkin sering juga ditengarai oleh rasa
cemburu. Akan tetapi, selama 6 tahun menjalani pendidikan di SD, Paul selalu
membuktikan bahwa ia adalah kakak yang mampu melindungi sang adik. Paul tak
pernah membiarkan adiknya disakiti oleh siapapun. Setiap kali sang adik
menangis, Paul selalu bertanya: “kenapa ko dek?,” lalu memastikan bahwa ia
memberi ‘pelajaran’ kepada siapa saja yang telah membuat adiknya menangis.
Dalam dunia pendidikan, Paul dan sang adik pada akhirnya
mulai berpisah ketika memasuki jenjang lanjutan, SMP: Paul diterima di SMP Frater
Palopo, sementara sang adik diterima di SMPN 1 Palopo. Sejak saat itu, mereka
tak pernah lagi pergi ke sekolah yang sama, mengingat di tingkat selanjutnya,
SMA, mereka lagi-lagi tidak bersama: Paul tetap lanjut di SMU Frater Palopo,
dan sang adik bahkan meninggalkan Kota Palopo untuk menempuh studinya di SMU
Kr. Barana’, Tana Toraja.
Sejak bersekolah di kota yang berbeda, Paul dan sang adik
memang tidak lagi memiliki banyak waktu bersama. Keduanya bertumbuh dan
memiliki kesibukan masing-masing, dan tentu saja, setelah melalui masa studi di
SMU, mereka berdua harus mempersiapkan diri untuk jenjang studi yang lebih tinggi. Pada
akhirnya, mereka bertemu hanya ketika hari libur dan semua berkumpul di rumah:
Paul masih seperti dulu. Ia adalah seorang yang memiliki selera humor yang
sangat tinggi, sehingga mudah sekali tertawa dan mudah sekali membuat orang
lain tertawa terbahak-bahak.
Dalam pertengahan masa studinya di bangku perkuliahan,
sebagai seseorang yang memang terkenal kreatif semasa SD (pernah mendapatkan
juara 1 untuk tulisan indah dan juga jago menggambar), ia akhirnya memutar
arah. Paul mengikuti kursus modifikasi motor dan selalu bereksperimen pada
motornya sendiri kala itu, dan akhirnya, memutuskan untuk berhenti kuliah lalu kembali
ke Palopo dan memulai usaha kecil-kecilannya.
Seiring waktu berlalu, tak terasa 8 tahun terakhir ia terus
bergelut dengan dunia modifikasi motor dan mobil, dan usaha itu jugalah yang
pada akhirnya membuat ia begitu dikenal oleh banyak orang di kota kelahirannya.
Ia pandai bergaul, pandai membangun relasi yang baik dengan orang lain dan
dikenal ramah. Dan, seperti yang sudah disebut di atas, ia sosok yang sangat
humoris. Mungkin, itu jugalah alasan mengapa banyak yang merasa begitu
kehilangan selain keluarga intinya.
Satu hari setelah pemakamannya, seorang teman Paul menjumpai
sang adik lalu berkata: Setiap kali Paul bertemu pengemis di emper-emper toko,
Paul selalu mengeluarkan uang dari sakunya dan menyuruh pengemis-pengemis itu
bangun dan pergi membeli makanan; sebelum ia dimakamkan, beberapa orang datang
menangisinya dan mengaku bahwa Paul seringkali ke rumah mereka, memberi uang
kepada anak-anak mereka (perilaku Paul yang tidak benar-benar diketahui oleh
keluarga).
Kenyataan pada hari Paul dimakamkan membuat sang adik
mengingat satu sosok yang pernah begitu dicintai oleh dunia, yang pemakamannya
disaksikan oleh jutaan mata di dunia: Putri Diana. Semua orang menangisinya dan
merasa begitu kehilangan, sebab mendiang Putri telah menabur cinta kemanapun ia
pergi semasa hidupnya. Memang, pemakaman Paul tidak dihadiri oleh jutaan jiwa
(mungkin ribuan), tetapi pemandangan yang tercipta hari itu sangat membesarkan
hati keluarga, sebab keluarga melihat cinta dan kasih sayang para sahabat
ketika mengantarkan jenazah menuju tempat peristirahatan terakhirnya; membuat
keluarga menyadari, bagaimana kau diperlakukan ketika kau mati, seperti itulah
yang telah kau tabur ketika kau hidup. Di sana, di hari kematianmu itulah,
orang akan melihat dan mengerti apa yang telah kau buat semasa hidupmu.
Lebih dari itu, di balik semua kisah tentang relasinya dengan orang
lain, Paul juga menyimpan kisah yang manis dengan adik perempuannya –yang adalah
juga adiknya satu-satunya. Sebagaimana ia menjadi “pelindung” bagi adiknya
semasa kecil, ia tetap pada peran yang sama hingga akhir hidupnya. Sekalipun sudah
lama tak menghabiskan waktu bersama, Paul tak pernah gagal menjadi sosok kakak
yang baik. Dengan kerja kerasnya, ia salah satu orang yang berperan besar dalam
menopang adiknya ketika menjalani studi S1. Ia banyak memenuhi kebutuhan
adiknya, sebab baginya, adiknya adalah “semangatnya”. Ia tak pernah membiarkan
adiknya kesulitan. Ia selalu harus memastikan bahwa adiknya aman, seperti yang
selalu dilakukannya semasa kecil dulu. Ia tak pernah membolehkan adiknya cemas,
tak pernah mengizinkan adiknya khawatir. Pesan terpentingnya setiap kali
mengirim SMS kepada adiknya adalah: “Jangan khawatirkan apapun. Kuliah saja
baik-baik dan jadi orang sukses, cuma itu permintaanku."
Sang adik tahu bahwa semua kakak di dunia ini pasti
mengasihi adik-adik mereka, namun, sang adik juga tahu bahwa tidak semua kakak
di dunia ini se-ekspresif Paul. Bercerita kepada teman-temannya betapa ia
menyayangi adiknya adalah salah satu kegemarannya. Ia senang sekali mengumumkan
bahwa ia begitu mengasihi adiknya, dan bahwa ia akan selalu berusaha memenuhi
apapun permintaan adiknya. Ia tidak mau membuat adiknya sedih, tidak mau
membuat adiknya kecewa, tidak mau membuat adiknya marah. Lebih dari itu, yang membuat sang adik merasa
sangat istimewa adalah, oleh karena Paul hanya memiliki satu adik, maka kasih
sayang yang diterima oleh adiknya adalah kasih sayang yang utuh, kasih sayang
yang tidak terbagi-bagi kepada adik lain manapun. Sang adik merasa menjadi adik
yang paling beruntung di dunia, sebab ia memiliki kakak seperti Paul, kakak
yang tahu bagaimana cara mencintai dan mengasihi adiknya, kakak yang bahkan
menjadikan adiknya sebagai “semangat” dalam menggeluti pekerjaannya.
Jelaslah, kepergian
Paul menjadi pukulan yang sangat besar di jiwa sang adik. Selamanya, sang adik
tak akan pernah lagi dapat melihat sosok kakak yang begitu mencintainya di
dalam dunia nyatanya. Menyakitkan sekali, terlebih karena Paul pergi setelah
terakhir kali sang adik melihatnya pada tanggal 6 September 2015 yang lalu,
setelah sang adik melakukan penelitian di Indonesia.
Saat ini, sang adik tengah merampungkan tulisan untuk
penyelesaian studinya, dan bertepatan sekali sang adik menulis tentang ritual
kematian “Rambu Solo’” yang banyak
sekali berbicara tentang kematian; perasaan dan kebutuhan keluarga pada saat
berduka. Beberapa waktu yang lalu, ada banyak pertanyaan yang masih menjadi
teka-teki di kepala sang adik. Mungkin, jawaban-jawaban yang sempat muncul
hanyalah dugaan semata, sebab ternyata, ketika mengalami langsung duka yang
begitu mendalam, mata sang adik terbuka untuk mengerti mengapa pada saat
berduka, keluarga berbuat seperti ini dan itu; mengapa ada kerinduan untuk
melakukan ini dan itu.
Lalu, sang adik berpikir: semasa hidupnya, Paul selalu
mengutamakan kepentingan adiknya. Ia banyak berkorban tanpa tahu bagaimana
harus merawat dirinya sendiri. Mungkinkah, menjelang akhir studi sang adik,
kematian Paul adalah bentuk pengorbanannya yang terakhir untuk menolong sang
adik memecahkan pertanyaan-pertanyaan di dalam tesisnya? Mungkinkah, Paul
pernah berkata kepada dirinya sendiri: “Sekalipun harus mati, jika itu dapat
menolong adik yang begitu ku kasihi untuk mencapai kesuksesannya, mengapa
tidak?” Pada akhirnya, sang adik berkesimpulan: Paul hidup di dunia ini untuk
beberapa tugas khusus, yakni menghibur dan menyenangkan orang-orang di
sekitarnya, dan tugas utamanya adalah, menjadi pelindung bagi adik semata
wayangnya.
Sampai hari ini, 37 hari setelah kematiannya, sang adik
masih sangat terluka. Sang adik berharap dapat kembali melanjutkan perjuangan
dari puing-puing semangat yang berusaha ia kumpulkan melalui aliran doa dan
penghiburan dari para sahabat, namun entah, rasanya sulit sekali. Sang adik
berpikir, mudah saja mengabaikan rasa duka ini, yakni dengan berusaha melupakan
bahwa Paul pernah ada. Tetapi, itu adalah hal yang sangat tidak mungkin, bahkan
tidak layak. Seorang pengasih seperti Paul tidak pantas dilupakan, sampai
kapanpun.
Entah sampai kapan.. Entah sampai kapan Paul, adikmu akan
terus mengenangmu di dalam rindu dan tangis. Setiap kali mengingatmu, sang adik
seperti kehilangan jiwanya sendiri. Semangatnya memudar, air matanya tak
berhenti menetes setiap kali menyebutmu di dalam doa-doanya, dan kepalanya
masih dihujani begitu banyak pertanyaan. Namun, sesekali juga adikmu tersadar:
kerentanan, kesedihan dan masa-masa sulit, mereka semua adalah juga tempat
lahirnya semangat baru. Dari sanalah muncul inspirasi dan kreativitas untuk
kembali berkarya, sembari mengingat perjuangan dan pesanmu: “Jangan
pernah khawatirkan apapun. Yang penting kau dapat menyelesaikan kuliah sebaik-baiknya
dan menjadi orang sukses, cuma itu permintaanku.”
Hannover, 22 Maret 2016 (3.12am)
Won't ever forget the way you've loved her this much
Di sana, di hari kematianmu itulah,
orang akan melihat dan mengerti apa yang telah kau buat semasa hidupmu...
Till we meet again, Paul Sayang...
P.S. Foto ini terus disimpan Paul di HPnya sekalipun ia sudah menggunakan HP yang baru beberapa waktu terakhir (foto ini dikirim pada akhir tahun 2014 ketika sang adik baru memulai studinya di Jerman, lantas Paul selalu merindukannya).
Seperti kata Paul di salah satu pesannya (di atas): Rajin-rajinlah mengirim fotomu yang terbaru (dek).