Friday 1 May 2015

Keadilan? Bercermin dari kisah Mary Jane Veloso

8.43
Sarstedt, North Germany 
(dalam perjalanan menuju Göttingen. Tidak ada yg lebih menyenangkan daripada membaca ataupun menulis di dalam kereta api demi membunuh sang waktu).

Sama seperti minggu lalu, kali ini saya ke Göttingen dengan tidak membawa laptop (terlalu berat di tas dan saya tidak ingin membawa banyak barang walau harus menginap semalam). Ya, seperti inilah situasi Summer Term. 2 hari dalam seminggu kami akan berada di kampus 1, Göttingen University, dan sisany di kampus 2, FIT Hermannsburg. Tidak begitu mengenakkan karena sangat melelahkan, namun demikian tetap harus mampu menyemangati diri sendiri, berjuang dan  membiasakan diri untuk menikmati segala sesuatu yang harus dijalani. Hanya dengan cara ini saya akan mampu untuk tidak mengeluh.

Baiklah, sebelum semuanya menghilang dari kepala saya, lebih baik saya menuliskannya sesegera mungkin. Dan, karena tidak membawa laptop, maka saya menuangkannya di tab. Ide yang cukup baik bukan?

Tadi di dalam taxi menuju stasiun kereta, seorang teman asal Etiopia bertanya kepada saya: "Elim, what's happening in Indonesia?"
Spontan saya menjawab: "Oh, you mean the execution?" Belum sempat melanjutkan, teman-teman yang lain sudah pada berkomentar: "Ah, it's not good... In Nigeria, bla bla bla."
Well, teman-teman berkomentar dengan sangat bersahabat, namun, sebagai orang Indonesia saya rasanya seperti dihakimi di dalam taxi. Hehehe.. Mengapa jawaban saya spontan mengenai perihal eksekusi? Beberapa hari terakhir, bermunculan di media sosial berita tentang Mary Jane Veloso (selanjutnya MJV), buruh migran asal Filipina yang terlibat sindikat perdagangan narkotika di Indonesia. Kalau tidak salah, berita pertama yang saya baca tentang MJV adalah dari German News yang kemudian saya share di akun twitter saya dengan komentar: "somehow, ga enak juga baca berita dari Indo tentang eksekusi." 

Di hari yang sama, ketika saya mengecek Facebook, ternyata di timeline saya berita tersebut sudah sangat ramai dibicarakan; saya juga menerima email dari Change.org yang isinya memuat petisi atas kasus MJV. Petisi ini digagas oleh  seseorang yang bernama Ruli Manurung, yang menuntut keadilan sebab MJV, berdasarkan informasi, hanyalah korban; korban human trafficking, korban sindikat perdagangan narkotika  yang terpaksa  harus membawa "barang-barang haram" tersebut dalam perjalanannya ke Indonesia. Oleh sebab hukum di Indonesia sangat tegas (?) mengenai penjualan, peredaran dan penggunaan narkoba, maka MJV harus terlibat hukum dan menemui nasibnya di meja hijau, dimana dia ditetapkan harus dihukum mati. 
Sebagai seseorang yang tidak mengerti bahasa Indonesia (meskipun bahasa Tagalog masih serumpun dengan bahasa Indonesia dari keluarga Astronesia, namun tetap saja tidak akan memadai) dan bahasa Inggrisnya disebut terbata-bata (bahkan mungkin pengetahuan bahasa Inggrisnya sangat minim alias tidak bisa merangkai kalimat), tentu saja MJV sangat-sangat terbatas dalam memberikan keterangan dan kesaksiannya.

Tidak ingin  menggeneralisasi, maka saya mencoba membaca beberapa berita yang beredar tentang MJV. Dengan posisi saya yang pernah melakukan penelitian tentang Women Migrant Workers (atau yang di Indonesia lebih populer dengan sebutan Tenaga Kerja Wanita alias TKW) di Hong Kong, hal semacam ini tentu turut menarik perhatian saya. Dengan "membaca" banyak informasi tentang mereka, setidaknya saya telah memiliki gambaran sesulit dan serumit apa situasi para TKW secara umum. Seseorang yang berpendidikan tinggi tidak akan memilih untuk menjadi TKW meski akan dilabeli gelar "Pahlawan Devisa Negara," dan dengan demikian, jelaslah bahwa yang memutuskan untuk menjadi TKW adalah mereka dengan tingkat pendidikan standar (SMA) atau di bawah rata-rata (SD dan bahkan yang tidak pernah bersekolah). Faktor ini cukup menentukan perlakuan yang mereka peroleh, sebab kurangny wawasan, keterbatasan untuk berargumen dan kerinduan untuk bekerja membuat mereka seringkali pasrah terhadap keadaan: apapun kata agen penyalur, mereka akan manut alias nurut sebab sudah terlanjur terjun, ingin pulang namun bingung + takut. Dalam situasi seperti ini, tidak sedikit TKW yang mengalami penipuan dan tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya adalah korban-korban Human Trafficking. Ya, mereka dijual. Dijual oleh orang-orang dari Tanah Airnya sendiri kepada agen-agen di Negara tujuan. Sebuah sistem lintas Negara yang tidak terlihat namun terorganisir dengan sangat baik, yang oleh Iko Takam Mekeng dalam novelnya yang berjudul "Riwayat Perjalanan Maria, Charlotte dan Emily" disebut dengan istilah: The Invisible Hands.

Pemahaman tentang situasi umum para TKW pada akhirnya memberi saya bayangan tentang kisah MJV, buruh migran asal Filipina tersebut. Saya tidak tahu apakah oleh para aparat penegak hukum di Indonesia, hal-hal penting di atas -yang sangat tidak bisa diabaikan- sudah ditelusuri untuk benar-benar memahami posisi MJV lalu kemudian memutuskan hukuman mati atasnya. 4 hari lalu ketika saya menandatangani petisi yang memohon adanya "keadilan" bagi MJV, kembali saya menyebarkannya melalui akun-akun media sosial saya. Ternyata, saya mendapat respon dari seorang teman: 


Teman: Km ga setuju hukuman mati?
Saya: Enggak sama sekali.
Teman: Hahah, kmn aja km wkt TKI kita dihukum mati? Kamu ga protes ke US? Mrk masih nerapin hukuman mati lho. Jgn terbuai cerita sinetron MJ, tp efek dari apa yg udah dilakuin itu.
Saya: $%^&*()_+" (terus terang membaca respon tersebut membuat perasaan saya bercampur-campur: marah, kesal, jengkel, sedih dan merasa bingung juga: maksudnya apa ya? Yang terbuai cerita sinetron MJV siapa? Kmn aja waktu TKI kita dihukum mati? Ga protes ke US? 


Saya kemudian membatin: lancang juga ya seseorang mengatai "jangan terbuai sinetron" tanpa memahami landasan berpikir saya. Di pesan-pesan berikutnya malah rasanya lebih keterlaluan lagi: "jangan sok humanis kalau tidak pernah merasakan situasi itu secara langsung/ tidak pernah berada dalam situasi lingkungan mereka." Jujur saja, saya rasanya hampir meledak. Sangat marah dan sekaligus prihatin karena tanpa benar-benar memahami posisi dan arah berpikir seseorang, bagaimana mungkin seseorang yang lain berani mengatai? Di dalam benak saya bahkan sama sekali tidak terlintas bahwa saya hendak menjadi seseorang yang sok humanis -sebab saya merasa perasaan ini mengalir begitu saja alias alami, dan saya sangat sering terganggu dengan persoalan-persoalan kemanusiaan dan ketidakadilan. Saya juga tidak dalam rangka membela MJV, katakanlah jika se-agama, dan tidak juga mau mempersoalkan Negara mana yang memberlakukan hukuman mati. Bagi saya, ini berlaku bagi semua Negara, dan karena kebetulan persoalan MJV terjadi di Indonesia -dengan berbagai ketimpangan dalam sistem hukum yang diterapkan- maka saya mengutarakan pemikiran saya. 


Beberapa menit setelahnya saya merasa bahwa mungkin akan lebih baik untuk tidak merespon lagi pesan-pesan dari teman tersebut, karena saya mendapati dia begitu sulit memahami maksud saya. Dan, ya, seperti inilah realita kita: hampir semua penilaian kita terhadap sesuatu/seseorang hanya sebatas di permukaan atau di kulit paling luar saja. Oleh karena itu, dari pesan-pesan tersebut saya belajar betapa maha pentingnya memahami sesuatu dengan sebaik-baiknya; betapa maha pentingnya memahami posisi seseorang; betapa maha pentingnya mengetahui aspek-aspek lain di sekitar yang mengakibatkan sesuatu terjadi. Kurangnya pemahaman terhadap sesuatu/seseorang tentu akan berakibat pada tudingan seperti tersebut di atas dan tidak ada objektivitas dalam menilai.

Prinsip semacam ini jugalah yang sangat perlu untuk diterapkan pada berbagai kasus yang terjadi, terutama dalam kasus MJV saat ini. Mengapa di dalam petisi dari Sdr. Ruli Manurung tersebut, yang dituntut adalah keadilan bagi MJV? Sebenarnya apa keadilan itu? Bagaimana suatu sikap/keputusan bisa dikatakan adil?

Saya pernah berpikir: ketika seseorang memukul saya dan saya balas memukul, maka itulah keadilan. Tapi jika saya memilih bersabar dan tidak membalas, maka itulah pengampunan: memiliki peluang membalas tetapi tidak menggunakannya. Tentu saja pengertian saya ini sangat berakar pada ajaran pokok dalam iman Kristen tentang Kasih yang menuntun pada sikap mengampuni. Sekarang yang menjadi persoalan, ajaran pokok iman Kristen tidak bisa begitu saja diberlakukan ketika kita berada pada tataran hukum. Negara kita adalah Negara hukum, maka harus adil dalam berbagai putusannya. Jika demikian, maka seperti apa keadilan bagi MJV? Bagi saya, keadilan bagi MJV ialah berusaha meneropong siapa yang telah "memukul" MJV; menelusuri sedalam-dalamnya mengapa MJV sampai ke Indonesia, dan yang lebih penting, memahami dengan baik situasi riil para buruh migran (betapa sering dan betapa rentannya mereka untuk dimanfaatkan, ditipu dan bahkan diperdagangkan). Dengan menelusuri dan memahami dengan benar, jika terbukti bukan sesuatu yang disengaja; terbukti bahwa MJV hanyalah korban, maka keadilan baginya adalah dengan membebaskan dan mengembalikan MJV kepada keluarga dan Tanah Airnya. Jika terbukti salah, maka seperti apakah yang adil itu menurut teman-teman?

Tentu saja saya sendiri tidak sepakat dengan maraknya peredaran narkoba yang sangat merusak generasi bangsa. Jadi, prinsip umum yang tentu berlaku di Negara hukum adalah: singkirkan satu yang merusak demi menyelamatkan jutaan lainnya. Namun, apakah menyingkirkan itu = mengukum mati para pelaku? Inikah adil bagi yang terbukti bersalah? Jika adil bagi yang tidak bersalah = dibebaskan, maka tidak dapatkah adil bagi yang bersalah = dihukum selama mungkin tanpa harus menghilangkan nyawa mereka?

Alasan saya tidak membenarkan hukuman mati (terutama pada kasus narkoba) adalah:
1. Saya percaya tidak seorangpun berhak menghilangkan nyawa orang lain.
2. Jika dengan memberlakukan hukuman mati, peredaran, penjualan dan penggunaan narkoba bisa berhenti, maka saya akan setuju. Faktanya, semakin merajalela.
3. Para pelaku yang terlibat kasus narkoba sebenarnya bisa diberi hukuman, seperti: hukuman penjara (misalnya 20-30 tahun). Mendengar putusan seperti itu, apakah seseorang tidak depresi? Hopeless kan tentunya? Sisa hidup harus dihabiskan di penjara.. Sangat menyedihkan! Dengan memberi kesempatan seperti ini, maka mereka diberi kesempatan untuk belajar dari kesalahan (saya tidak sedang berbicara tentang prinsip Pengampunan di sini). Klise mungkin, tapi tidak bagi saya. Tujuannya adalah untuk menuntun mereka menemukan kembali kemuliaannya sebagai manusia yang berakhlak, dan selama masa hukuman mereka dibina atau direhabilitasi. Maka, tidak adilkah model seperti ini? Ini juga "pukulan" yang sebenarnya mematikan. Mematikan semua yang jahat di dalam diri seseorang.

*Kritik dan poin-poin pendukung (penegas?)
1. Kata Rm. Magnis Suseno, sistem yudisial kita belum bersih dari praktik korup. Masa kita bersedia membunuh orang atas keputusan lembaga-lembaga yang tidak dapat dipastikan kejujurannya?
2. Tadinya saya berpikir bahwa hukuman mati bisa memberi efek jera kepada para pelaku kejahatan, namun nyatanya semakin sering kita mendengar kabar tentang adanya hukuman mati (lagi) karena kasus pelaku pengedar dan pengguna narkoba yang baru. Jadi, hukuman mati untuk apa? Begitu pertanyaanku pada teman yang sempat menudingku, lalu jawabnya -terkait poin 3 di atas- jika hanya dipenjara, di dalam penjara pun mereka tidak bisa berhenti. Maka pertanyaan saya selanjutnya: Bagaimana bisa dari dalam sel para tahanan masih bisa beraksi? Aparat hukum kebobolan, atau justru mereka dengan permainan cantiknya yang membukakan jalan?
Jawaban teman: Jaringan mereka luas dan mereka memiliki banyak uang. Dengan sangat mudah mereka bisa menjalin kerja sama dengan para sipir. *BLEPPPP! Saya langsung balas: maka kamu sudah mementahkan semuanya. Sangat tidak pantas ada hukuman mati jika jelas-jelas para penegak hukum sendiri bermain-main dengan hukum alias tidak tegas. Memalukan itu namanya. Bukan hanya memalukan, itu dosa. Jelas-jelas dosa! *ini tanya-jawab di awal-awal diskusi sebelum saya hampir meledak (yang sudah saya sebutkan sebelumnya).
3. Jika saja para aparat hukum kita mampu bersikap tegas dan benar-benar mengawasi situasi para tahanan, maka seharusnya tidak ada lagi peluang untuk beraksi dari balik jeruji besi. Jika ini terwujud, maka bersama aparat keamanan kita telah berusaha untuk menuntun para pelaku kejahatan kembali kepada kemuliannya.

Terkait MJV, berita terbaru yang saya baca kemarin ialah, perekrut MJV telah menyerahkan diri kepada kepolisian Filipina dan mengaku bahwa dialah yang berperan di balik kasus yang menimpa MJV (http://www.rappler.com/world/regions/asia-pacific/indonesia/91404-perekrut-mary-jane-maria-kristina). Lalu, sekarang terjadi terjadi penundaan eksekusi terhadap MJV atas permohonan Presiden Filipina yang meminta kesempatan untuk meninjau dan menelusuri kembali kasus MJV di Filipina. Saya rasa, petisi dari semua teman-teman juga telah turut berkontribusi atas penundaan eksekusi tersebut. Di satu sisi saya lega. Artinya, sedang ada upaya untuk mewujudkan keadilan. Namun di sisi yang lain, saya sepakat (dan ini mempertegas poin-poin di atas) dengan pandangan Anggara dari Peneliti Lembaga kajian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), yang menyatakan bahwa penundaan pelaksanaan hukuman mati terhadap MJV adalah bukti lemahnya hukum di Indonesia. Menurutnya, kasus yang terjadi pada MJV menunjukkan secara spesifik bahwa peradilan pidana Indonesia tidak layak menerapkan hukuman mati, sebab selama masa peradilan MJV tidak mendapatkan bantuan hukum yang memadai: tidak mendapatkan penerjemah dan posisinya sebagai buruh migran Filipina tidak dipertimbangkan (http://www.antaranews.com/berita/493528/menurut-icjr-mary-jane-bukti-lemahnya-hukum-indonesia?utm_source=related_news&utm_medium=related&utm_campaign=news). Selain itu, adanya faktor kerjasama terstruktur antara para pelaku kejahatan dan para penegak hukum -seperti yang sudah disinggung sebelumnya- sudah sangat mempertegas betapa tidak pantasnya pemberlakuan hukuman mati. Sebagaimana para agen penyalur para TKW bekerja di dalam sistem Invisible Handsnya, maka demikian jugalah di dalam beberapa kasus para terpidana dan para penegak hukum.
Kini hukuman mati seolah menjadi ajang coba-coba yang bisa ditinjau kembali keputusannya ketika ada seseorang yang tiba-tiba mengaku sebagai saksi ataupun dalang. Saya bertanya-tanya: tidak malukah mereka yang dengan yakin menjatuhkan hukuman mati -yang berarti hasil akhir dari penyelidikan sudah membuktikan bahwa terdakwa pantas dihukum mati- lalu kemudian menundanya kembali? Mereka ternyata terlalu terburu-buru memutuskan (dan kemungkinan besar ini juga sudah terjadi pada ratusan terpidana mati lainnya, namun mereka kurang beruntung karena tidak ada peninjauan kembali atas perkara mereka sebelum benar-benar dibunuh).

Barulah beberapa jam terakhir ini saya kemudian berpikir: bagaimana jika kasusnya adalah mengenai para pelaku teror bom? Baiklah.. Sekarang saya sampai pada posisi berpikir bahwa untuk memutuskan yang adil itupun, segala sesuatu harus ditinjau perkasus. Tidak ada kasus yang persis sama, maka keadilan akan tergantung pada kasus setiap orang. Jika harus kembali mengenang peristiwa bom bali atau peristiwa teror bom lainnya; fakta ISIS dan kasus-kasus biadab lainnya, maka, secara spontan mungkin saya harus menjawab: hukum mati saja!
Tapi, bagaimana dengan mereka yang harus menjatuhkan hukuman mati? Dapatkah mereka dipercaya? Dan bagaimana juga dengan persoalan kemuliaan para pelaku kejahatan?
Ohh.. Semoga setelah ini Sang Maha akan menuntun saya untuk menemukan jawabannya.